Aku jadi kebuka pikiran ttg atlet setelah pernah ngobrol ma pebulu tangkis Taufik Hidayat bbrp tahun lalu. O iya ya., jangan lihat pas suksesnya.. bayangin ortu2 mereka pas anaknya yg masih SD memutuskan menomorduakan sekolah dan mendahulukan latihan2 tanpa kepastian masa depan https://t.co/8LZ2refmsR--- Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) August 2, 2021
Salah satu "penyakit" kita untuk berprestasi di bidang olahraga barangkali sudah didiagnosa oleh Presiden Jancukers Sujiwo Tejo.
Ketika ramai pejabat dan public figure merapat ke Greysia/ Apriyani dengan raihan emasnya, Sujiwo Tejo menyindir bahwa orang tua merekalah yang berhak paling bangga atas kedua ganda putri itu. Ketika para orang tua umumnya mengutamakan sekolah di atas badminton ternyata masih ada sosok yang rela mengutamakan badminton di atas prestasi sekolah.
Makna tersirat dari sentilan Sujiwo Tejo yaitu, di Indonesia merupakan perjudian nekat ketika seseorang menekuni olahraga. Jika berprestasi memang sangat melimpah sekali bonusnya --uang, rumah, mobil, franchise bisnis-- meski ketika berlatih minim lirikan.Â
Apakah memungkinkan kita membuat ekosistem di mana atlet punya pilihan kehidupan yang baik setelah tak lagi aktif? Â
Sejak pembibitan usia dini kita bisa memperoleh calon-calon unggulan yang prospektif tetapi yang kurang berhasil juga dapat memiliki kesempatan hidup layak. Demikian pula setelah atlet selesai berkarier karena faktor usia atau cedera.
Persoalan karier dan kehidupan atlet pasca-pensiun memang menjadi misteri dan jalan sunyi masing-masing. Menjadi pelatih di negeri orang adalah salah satu alternatif impian seperti yang dilakukan oleh Muamar Qadafi dan kawan-kawan.***
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H