Pebulutangkis Anthony Sinisuka Ginting menambah 1 medali perunggu Olimpiade Tokyo 2020. Sebelumnya, cabang yang sama menyumbang medali emas lewat ganda putri Greysia Polii/ Apriyani Rahayu.
Ada kelindan menarik di balik medali-medali yang kita raih. Ada fakta bahwa Indonesia ternyata menjadi eksportir tangan dingin pelatih olahraga tepuk bulu angsa ini.
Anthony Ginting dalam penentuan peringkat ketiga sukses menaklukkan Kevin Cordon dari Guatemala dua set langsung, 21-11 dan 21-13. Memang kalah level karena Ginting pemilik ranking 5 dunia sedangkan Cordon ranking 59.
Perjalanan hingga babak semifinal bagi Cordon sendiri sungguh luar biasa. Salah satunya yaitu berhasil mendepak Ng Ka Long, atlet Taiwan peringkat 9 dunia.
Meski gagal membawa pulang medali tetapi pemain berusia 35 tahun ini cukup puas dengan apa yang mampu diraih. Ia adalah utusan pertama benua Amerika yang mampu menembus semifinal.
Di balik pencapaian Cordon ada peran penting pelatih yang menuntunnya hingga menapak semifinal Olimpiade Tokyo. Kesuksesan Cordon membawa Guatemala ke kancah bulu tangkis dunia tak lepas  dari sentuhan tangan dingin pelatih Muamar Qadafi asal Jawa Tengah. Â
Muamar adalah mantan atlet bulu tangkis yang melanglang ke Amerika sejak 2009. Pada periode kepelatihan yang pertama ia melatih atlet-atlet Peru, Meksiko, dan Guatemala.
Tahun 2017 adalah periode yang kedua. Bukti kematangan Muamar sebagai pelatih ditunjukkan lewat prestasi Kevin Cordon yang melejit hingga menempati peringkat 4 Olimpiade Tokyo 2020.
Berbeda dengan Muamar yang anak asuhnya pulang tanpa medali di tangan atlet merah putih, Flandy Limpele justru mampu menahan laju ganda putra Indonesia.
Anak didik Flandy yaitu Aaron Chia/ Soh Wooi Cik menjegal ganda senior Mohammad Ahsan/ Hendra Setiawan. Duet kita pulang dengan catatan 21-17, 17-21, dan 14-21 dalam laga semifinal di Musashino Forest Sports Plaza akhir Juli lalu.Â
Tak ada medali yang dapat kita raih dari ganda putra. Namun Malaysia berhasil mencuri satu-satunya perunggu lewat tandem yang ditempa pelatih asal Indonesia.
Flandy Limpele sendiri bukan atlet sembarangan; mantan ganda putra peraih perunggu Athena 2004. Pasangannya dahulu adalah Eng Hian dan ternyata ... dia adalah pelatih di balik sukses emas Greysia/ Apriyani!
Muamar Qadafi dan Flandy Limpele adalah dua pelatih made in INA yang sukses membawa badminton Indonesia mendunia. Catatan badmintonasia.org saat ini sekurang-kurangnya ada 12 pelatih yang tersebar di 9 negara.
Di negeri jiran ada Hendrawan, Flandy Limpele, Paulus Firman, dan Indra Wijaya. Â Kemudian ada pula Mulyo Handoyo di Singapura, Rexy Mainaky di Thailand, dan Namrih Suroto di India.
Sebelum melatih Malaysia, Flandy Limpele adalah salah satu pelatih India. Prestasi Satwiksairaj Rankireddy dan Chirag Shetty masuk 10 besar dunia merupakan hasil polesannya.
Eropa termasuk salah satu jujugan diaspora pelatih Indonesia.
Finlandia ditangani Imam Teguh sementara Irlandia diasuh Davis Efraim. Yang lain yaitu Didi Purwanto yang menukangi Hungaria dan Indra Bagus yang menempa Belgia.
Untuk  pan-Amerika sendiri, sebelum Muamar Qadafi sebenarnya ada dua pebulutangkis tanah air yang menjadi sparring partner di sana. Mereka adalah Roy Purnomo dan Agustinus Sartono yang membantu melatih atlet-atlet Peru.
Dengan deretan prestasi pelatih kita itu sebenarnya tersimpan potensi besar Indonesia mengimbangi raksasa badminton China lebih dekat. Saat ini sudah 20 emas olimpiade dikoleksi China sementara Indonesia baru 8.
Aku jadi kebuka pikiran ttg atlet setelah pernah ngobrol ma pebulu tangkis Taufik Hidayat bbrp tahun lalu. O iya ya., jangan lihat pas suksesnya.. bayangin ortu2 mereka pas anaknya yg masih SD memutuskan menomorduakan sekolah dan mendahulukan latihan2 tanpa kepastian masa depan https://t.co/8LZ2refmsR--- Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) August 2, 2021
Salah satu "penyakit" kita untuk berprestasi di bidang olahraga barangkali sudah didiagnosa oleh Presiden Jancukers Sujiwo Tejo.
Ketika ramai pejabat dan public figure merapat ke Greysia/ Apriyani dengan raihan emasnya, Sujiwo Tejo menyindir bahwa orang tua merekalah yang berhak paling bangga atas kedua ganda putri itu. Ketika para orang tua umumnya mengutamakan sekolah di atas badminton ternyata masih ada sosok yang rela mengutamakan badminton di atas prestasi sekolah.
Makna tersirat dari sentilan Sujiwo Tejo yaitu, di Indonesia merupakan perjudian nekat ketika seseorang menekuni olahraga. Jika berprestasi memang sangat melimpah sekali bonusnya --uang, rumah, mobil, franchise bisnis-- meski ketika berlatih minim lirikan.Â
Apakah memungkinkan kita membuat ekosistem di mana atlet punya pilihan kehidupan yang baik setelah tak lagi aktif? Â
Sejak pembibitan usia dini kita bisa memperoleh calon-calon unggulan yang prospektif tetapi yang kurang berhasil juga dapat memiliki kesempatan hidup layak. Demikian pula setelah atlet selesai berkarier karena faktor usia atau cedera.
Persoalan karier dan kehidupan atlet pasca-pensiun memang menjadi misteri dan jalan sunyi masing-masing. Menjadi pelatih di negeri orang adalah salah satu alternatif impian seperti yang dilakukan oleh Muamar Qadafi dan kawan-kawan.***
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H