Pengamat politik Ahmad Khoirul Umam mengatakan saat ini terdapat 3 sosok potensial pewaris kursi Mega. Mereka yaitu Puan Maharani, Prananda Prabowo, dan Jokowi. Dua kandidat pertama berasal dari trah Soekarno sendiri yang tak lain adalah putra-putri Mega. Sementara itu Jokowi yang bukan darah biru Soekarno berpeluang melanjutkan kepemimpinan berdasarkan pengalaman politik sebagai presiden dua periode.
Ahmad Khoirul Umam, Universitas Paramadina (cnnindonesia.com, 23/7/2020):
"Mega punya saham politik besar, bahkan mayoritas dan dominan. Soft landing ditentukan dari exercise otoritas kekuasaan Mega, kalau dia persiapkan nama yang firm lalu disosialisasikan, bisa menetralisir potensi riak yang muncul baik di internal keluarga atau luar itu."
Gerindra berhasrat merebut juara 1 pemilu, begitu juga dengan parpol lain yang ingin memperbaiki nasib atau berjuang meloloskan diri dari zona degradasi. Jika partai banteng terlambat panas bukan tak mungkin dominasinya sebagai peraih suara terbanyak akan tergeser.
Demokrat masih berat
Debut Demokrat dalam Pemilu 2004 cukup meyakinkan dengan mendapat suara sebanyak  7,45%. Elektabilitasnya melesat naik dalam lima tahun berikutnya, nyaris 200%.  Dalam Pemilu 2009 Demokrat berhasil meremukkan kedigdayaan Golkar dan PDIP. Saat itu partai SBY mendapatkan 20,85% suara sedangkan Golkar hanya 14,45% (turun 7,13%) dan PDIP 14,03% (turun 4,5%).
Sekarang Demokrat kembali pada posisi 7% dalam pemilu terakhir. Posisi ini sangat riskan karena sebagai oposan peluang untuk meningkatkan elektabilitas semakin sulit.
Sudah sulit tertimpa tangga pula. Parpol di bawah komando putra SBY ini sedang menghadapi gejolak dinamika internal. Kepemimpinan Ketum AHY digugat sejumlah kader senior yang merasa tidak puas sejak kongres ke-5 tahun 2020.
Ketidakpuasan kemudian terwujud lewat penyelenggaraan kongres tandingan di Deli Serdang. KLB atau Kongres Luar Biasa yang digagas antara lain oleh Jhoni Allen Marbun dan Max Sopacua itu berhasil memilih ketua umum baru yaitu Jenderal (Purn.) Moeldoko.
Masalahnya adalah Moeldoko bukanlah kader Demokrat asli. Pejabat KSP tersebut hanya menerima pinangan untuk menduduki kursi yang nyaris tersedia begitu saja. Demokrat kubu KLB memang perlu sosok pemersatu sekaligus leader dan pilihan jatuh pada Moeldoko.
Karena manuver Moeldoko merugikan posisi Jokowi, tak ayal PDIP meradang juga. Partai utama pendukung koalisi istana ini menganggap staf Jokowi tersebut ibarat pemain naturalisasi dalam dunia sepakbola. Amarah kian menggebu-gebu ketika poster duet Puan-Moeldoko sempat beredar di Surabaya.
Efendi Simbolon (cnnindonesia.com, 27/3/2021):
"Pastinya bercanda itu [poster Puan-Moeldoko], karena saya termasuk yang mendukung Puan untuk maju, tapi bukan sama Pak Naturalisasi. Nanti ada saatnya, ada waktunya, tapi nanti."
Dinamika internal tersebut yang saat ini sedang membebani Demokrat. Masing-masing pihak akhirnya mengajukan sengketa ke meja hijau untuk mendapatkan legitimasi keabsahan pengurus secara hukum.