Peribahasa mengatakan "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari".
Makna dari pepatah tersebut adalah agar guru, orang tua, atau pemimpin harus memberikan teladan yang baik. Jika mereka memperlihatkan contoh sebaliknya maka murid, anak, atau bawahan akan melakukan hal yang lebih buruk.
Bagaimana dengan soal guru kencing berdiri? Apakah itu semata-mata pemanis irama dalam peribahasa, ataukah memiliki makna secara tersurat?
Dalam fiqih Islam soal kencing ini masuk ke dalam pembahasan adab-adab bersuci atau thoharoh.
Pengetahuan bersuci mendapat perhatian yang sangat besar dan diajarkan sejak usia dini. Hal tersebut karena bersuci merupakan ilmu wajib dan mendasar bagi setiap muslim saat memasuki masa akil baligh.
Masalah-masalah yang kelihatan sepele menurut kita ternyata bisa berdampak serius dan merembet ke hal-hal yang lain, misalnya di dalam melakukan buang air. Rasulullah SAW dalam hal ini memberi contoh pula secara terperinci. Salah satu yang dicontohkan oleh Nabi yaitu posisi tubuh ketika  buang air;  baik itu buang air kecil maupun buang air kecil.
Ketika melakukan buang air besar, hampir dapat dipastikan bahwa praktik yang dilakukan seperti juga dikerjakan oleh Nabi yaitu sambil jongkok. Namun bagaimana halnya dengan buang air kecil?
Kebiasaan buang air kecil atau kencing menurut sunnah posisinya adalah jongkok; yaitu menekan kaki seraya menegakkan betis bagian kanan.Â
Dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Nabi tidak pernah kencing sambil berdiri. Meski demikian, ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa seorang sahabat pernah melihat Nabi kencing dengan posisi berdiri.
Pembahasan masalah kontradiktif tersebut pernah disampaikan ustadz M Zainal Abidin di laman islam.nu.or.id. Adapun keterangan yang berkaitan antara lain sebagai berikut:
"Diriwayatkan dari 'Aisyah radliyallahu 'anha beliau berkata: 'Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali dengan duduk'." (HR. An-Nasai).
Kemudian, dalam satu riwayat yang lain disampaikan:
"Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu 'anhu: 'Aku tidak pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam'. Namun kencing dengan berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadits 'Nabi Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik) sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya uzur."Â (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib).
Dari kedua hal yang kelihatan bertentangan itu ustadz Zainal mengutip pendapat Ibnu Hajar dalam kitabnya yaitu Fath al-Bari. Kesimpulannya, Nabi memiliki kebiasaan buang air kecil dengan cara duduk/ jongkok, tetapi ketika kondisi tidak memungkinkan (uzur) maka kencing sambil berdiri diperkenankan.
Manfaat kesehatan kencing dengan posisi jongkok
Berdasarkan kaidah pentingnya mencontoh teladan Nabi, maka umat Islam dituntut pula untuk mengikuti beliau termasuk dalam hal buang air.
Selain menghidupkan sunnah, adab ketika buang air juga memiliki beberapa maksud. Menurut Muhammad Idris dalam penjelasannya di laman tebuireng.online, ada tiga faedah yang diperoleh ketika kita melakukan hal tersebut.
- Pertama,dengan berjongkok maka posisi kaki dan pakaian bagian bawah lebih aman dari pantulan air kencing sehingga aman dari najis ketika digunakan untuk sholat.
- Kedua, ketika kita berjongkok maka tekanan terhadap kantung kemih dan usus pencernaan akan lebih besar sehingga buang air kecil/ besar lebih tuntas. Mengeluarkan sisa kemih dan limbah pencernaan bermanfaat bagi tubuh karena pada dasarnya hal itu berarti membuang racun yang berbahaya.
- Ketiga, aurat lebih tertutup ketika buang air sambil berjongkok.
Soal sisa urin yang menempel pada pakaian tanpa sengaja,perlu pula dikaji kemungkinan mudarat yang ditimbulkan.
Dalam tinjauan medis seperti yang dikutip di laman NCBI National Institutes of Health, urin dapat mengandung mikrobiota yang di antaranya merupakan kuman atau virus patogen berbahaya. Mikrobiota yang umum dan mungkin terdapat dalam urin yaitu:
- Escherichia coli;
- Treponema pallidum (penyebab sifilis);
- Neisseria gonorrhoeae (penyebab gonorhoea);
- Chlamydia trachomatis (penyebab trakoma);
- Trichomonas vaginalis;
- Candida albicans;
- Herpes simplex virus (penyebab herpes);
- Human papilloma virus.
Bahkan menurut temuan peneliti dalam riset Covid-19, virus corona ternyata bisa terdapat pula dalam urin pasien yang terinfeksi. Hal itu diketahui setelah virus corona terdeteksi menetap dan merusak organ ginjal beberapa pasien (medipee.com, 25/03/2020).
Dari beberapa kajian ilmiah tersebut, adab buang air kecil yang baik memiliki manfaat pula dalam mencegah penyebaran penyakit menular. Percikan urin yang menempel di kaki atau pakaian bawah (celana, sarung) dapat dikurangi seminimal mungkin. Sementara dari aspek fiqih, jika pun ada sedikit urin tak kasat mata yang menempel maka kategorinya adalah ma'fu atau dapat ditoleransi.
Sayangnya, untuk mengikuti teladan Nabi tersebut tidak selalu mudah dilakukan.
Ketika berada di tempat atau fasilitas umum termasuk mesjid, tempat buang air kecil untuk pria umumnya kurang atau tidak memfasilitasi kemudahan posisi jongkok. Banyak urinoir di mesjid kondisinya sama dengan yang ada di mall atau bilik kecil di terminal; tidak memudahkan untuk mengamalkan sunnah Nabi.
Hal tersebut bagi penulis cukup merepotkan ketika singgah di mesjid yang tidak memiliki fasilitas WC. Dengan urinoir yang memaksa posisi berdiri maka harus ada usaha ekstra agar percikan urin tidak mengenai kaki atau celana.
Sunat dalam ajaran Islam
Masalah sisa urin di dalam peribadatan umat Islam mendapat perhatian khusus.
Selain adab-adab bersuci yang cukup kompleks, dikenal pula praktik sunat di dalam ajaran Islam. Secara hukum fiqih, sunat bagi pria diperlukan agar sisa urin lebih mudah dibersihkan mengingat dalam Islam ada pula kewajiban sholat 5 waktu.
Dengan melakukan sunat bagi laki-laki menjelang akil balig maka masalah sisa urin ini terselesaikan secara tuntas.
Namun hal itu menjadi ironis ketika prinsip kehati-hatian tidak diiringi dengan upaya kolektif di dalam menyelenggarakan fasilitas umum yang ramah terhadap pelaksanaan adab-adab Rasulullah SAW.
Agaknya para takmir mesjid dan pengelola fasilitas umum perlu memikirkan hal tersebut.
Selain karena semata membumikan teladan Nabi dalam hidup sehari-hari, manfaat adab buang air sudah jelas pula dilihat dari aspek fiqih dan kesehatan seperti penjelasan di atas. Paham keliru bahwa laki-laki itu kencingnya berdiri perlu diluruskan dengan penjelasan bahwa hal itu tidak selaras dengan apa yang dilakukan Nabi dahulu.
Membangun mesjid yang indah dan megah secara arsitektur memang baik. Akan tetapi mengikuti aspek kemaslahatan fiqih dan sunnah Nabi juga jauh lebih penting. Dalam momentum maulid Nabi Muhammad SAW seperti saat ini penting dikemukakan bahwa umat Islam perlu melakukan introspeksi terhadap fasilitas umum terutama di mesjid atau mushola.
Salah satu ikhtiar yang dapat dilakukan yaitu membudayakan urinoir yang memungkinkan posisi jongkok seperti yang diajarkan dalam sunnah. Dengan fasilitas tersebut maka dapat pula kita "amalkan" peribahasa; bahwa guru tidak seharusnya kencing sambil berdiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H