Sunat dalam ajaran Islam
Masalah sisa urin di dalam peribadatan umat Islam mendapat perhatian khusus.
Selain adab-adab bersuci yang cukup kompleks, dikenal pula praktik sunat di dalam ajaran Islam. Secara hukum fiqih, sunat bagi pria diperlukan agar sisa urin lebih mudah dibersihkan mengingat dalam Islam ada pula kewajiban sholat 5 waktu.
Dengan melakukan sunat bagi laki-laki menjelang akil balig maka masalah sisa urin ini terselesaikan secara tuntas.
Namun hal itu menjadi ironis ketika prinsip kehati-hatian tidak diiringi dengan upaya kolektif di dalam menyelenggarakan fasilitas umum yang ramah terhadap pelaksanaan adab-adab Rasulullah SAW.
Agaknya para takmir mesjid dan pengelola fasilitas umum perlu memikirkan hal tersebut.
Selain karena semata membumikan teladan Nabi dalam hidup sehari-hari, manfaat adab buang air sudah jelas pula dilihat dari aspek fiqih dan kesehatan seperti penjelasan di atas. Paham keliru bahwa laki-laki itu kencingnya berdiri perlu diluruskan dengan penjelasan bahwa hal itu tidak selaras dengan apa yang dilakukan Nabi dahulu.
Membangun mesjid yang indah dan megah secara arsitektur memang baik. Akan tetapi mengikuti aspek kemaslahatan fiqih dan sunnah Nabi juga jauh lebih penting. Dalam momentum maulid Nabi Muhammad SAW seperti saat ini penting dikemukakan bahwa umat Islam perlu melakukan introspeksi terhadap fasilitas umum terutama di mesjid atau mushola.
Salah satu ikhtiar yang dapat dilakukan yaitu membudayakan urinoir yang memungkinkan posisi jongkok seperti yang diajarkan dalam sunnah. Dengan fasilitas tersebut maka dapat pula kita "amalkan" peribahasa; bahwa guru tidak seharusnya kencing sambil berdiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H