Soal politik memang selalu asyik dan kadang-kadang suka bikin resah. Atau seolah-olah resah.
Di Kompasiana, gara-gara kanal politik kerap merajai trending terpopuler akhirnya kanal yang lain jadi terbenam. Raib menghilang di dasar oblivion yang tak kenal belas kasihan.
Biang keladi semua itu adalah ulah pembaca yang suka baca politik. Coba kalau mereka skip saja, tentu  artikel politik akan karam dengan sendirinya.
Tetapi dipikir-pikir lagi barangkali inilah seninya hidup di Indonesia, terutama di masa pembangunan ini.
Umumnya kita punya kecenderungan tertarik soal politik di samping membicarakan hal-hal yang tabu atau saru. Dari obrolan di warkop hingga debat di televisi. Tua dan muda. Cuma sedikit yang gemar membaca dan rajin mengaji.
Dokter ngomong politik; ustad ngomong politik; mahasiswa pertanian ngomong politik; bahkan pegawai negeri  pun ngomong politik. Ujung-ujungnya, karena yang berpolitik sudah banyak akhirnya anak Fisip mengalah baca komik.
Penulis mengerti sedikit politik karena dulu di kampus pernah berpolitik. Terpaksa, akibat salah pergaulan. Padahal dulu belajar eksakta yang mengharamkan pemelintiran fakta atau angka. Dalam politik angka itu bisa menjadi sesuatu yang tidak penting; Â yang penting adalah bagaimana cara kita menafsirkannya.
Tafsir politik itu pada dasarnya sederhana. Sini maunya apa, situ pengennya gimana, terus kita mau ke mana. Seringnya pula dalam politik itu adalah berbicara tentang siapa mendapatkan apa.
Karena yang dimaksud 'mendapatkan sesuatu' dalam politik bisa disederhanakan menjadi uang maka dikenal pula istilah politik uang. Di alam nyata, politik dan ekonomi itu memang sulit dipisahkan. Menyatu ibarat gula dengan manisnya.
Dalam politik, kalau sesuatu masih bisa dibicarakan baik-baik maka itu disebut  musyawarah. Kalau pihak-pihak yang bertikai  sulit bersepakat  dan terpaksa harus hom pim pah, itu namanya voting. Lain kali bisa pula parang yang berbicara; itu namanya perang.
Selalu begitu  di mana pun levelnya. Entah itu di bale desa, di kampus, di kantor, atau bahkan di tingkat negara dan dunia. Di masa pembangunan ini.
Di satu negara, andai negara itu diibaratkan satu kapal maka di sana harus ada cuma satu nakhoda yang pegang kemudi. Kalau ada dua maka nakhoda yang lain terpaksa harus naik sekoci.
Konsekuensi  dari nakhoda yang harus cuma satu itu pernah menyebabkan kita mengalami masa-masa kekuasaan rezim yang berlangsung begitu lama. Hal ini terjadi karena tidak ada aturan yang membatasi; berapa lama ia boleh berkuasa.
Yang terlama yaitu rezim orde baru di bawah Presiden Soeharto yang durasinya mencapai 32 tahun. Jika 2019 kemarin dihitung awal kekuasaan Soeharto maka ujung jabatannya akan berakhir tahun 2051 nanti. Anda siap? Kencangkan ikat pinggang!
Anggaplah sekarang era orde baru di mana presiden yang berkuasa adalah Soeharto, apa yang akan Anda alami? Atau dalam sudut pandang rezim penguasa, apa yang kira-kira akan dilakukan Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya hingga 2051 nanti?
Asumsikan bahwa blog berjamaah seperti Kompasiana boleh ada.
Yang jelas admin akan dipegang oleh orang yang terus berhubungan atau dihubungi pejabat tentara. Ada larangan menulis ini dan itu; ada peringatan atau warning untuk tidak menyentuh tema anu.
Agaknya di samping menawarkan topik pilihan, admin secara berkala menyampaikan pula  tentang topik-topik yang tidak boleh dipilih. Kalau mau nekat, penulis harus pandai-pandai menggunakan kiasan agar semua aman dan terkendali. Kalau sudah kena breidel maka semua jadi susah, tak bisa menulis lagi.
Pengalaman menunjukkan pada kenyataannya memang begitu; seperti yang sering diceritakan wartawan-wartawan jadul. Meminjam kalimat Jakob Oetama almarhum, orang atau media harus cerdik bersiasat agar tetap hidup dan bisa terus berjuang. Orang mati --meskipun gagah-- tidak bisa diajak berjuang.
Begitulah jalan ninja orang-orang media dan atau penulis hingga mampu bertahan di zaman orde baru. Sekali dua pelanggaran terjadi dan peristiwa itu telah menjadi sejarah pencapaian menuju kebebasan berbicara.
Pelanggaran --asal tahu saja-- tidak hanya berarti hukuman atau periuk nasi yang hilang, tetapi  mungkin juga jiwa yang melayang.
Meskipun Indonesia secara formal de jure menyatakan diri sebagai negara demokrasi tetapi pada kenyataannya  klaim itu batal secara de facto. Atau kurang sahih. Mana ada demokrasi dapat berjalan jika hak kebebasan mengemukakan pendapat dikerdilkan.
Dan whuzz...  Kita persingkat saja. Berkat keajaiban mesin waktu  sekarang kita berada pada tahun 2051. Kekuasaan Soeharto baru saja lengser kemarin pukul 09.00, setelah berkuasa 32 tahun.
Jika saat Soeharto dilantik Anda berumur 20 tahun maka sekarang berarti sudah 52! Cukup lama bukan?
Sepeninggal kekuasaan Soeharto, kita boleh bersuara dan menulis tentang apa saja. Tentu dengan adab dan rambu-rambu universal kita sebagai makhluk sosial.
Topik politik yang dulu terlarang atau dibatasi sekarang sudah tidak lagi. Inilah era di mana kita dapat berpesta untuk mengulas apa pun tema yang dulu pantang dibahas.
Jadi, nikmatilah momen kebebasan menulis ini menurut kadar kemampuan, sudut pandang, dan keterbatasan masing-masing. Termasuk dan terutama --dalam hal ini-- menulis di kanal politik.
Yang dokter boleh menulis politik; yang ustad juga boleh. Mahasiswa pertanian boleh membahas politik, yang pegawai negeri  juga bisa. Biarkan anak Fisip kalau terlanjur doyan baca komik.
Soal enak tidak enak dibaca atau skill tata bahasa tentu sulit disetarakan. Tidak semua yang menyanyi adalah biduan dan tidak semua yang berenang adalah ikan.
Tak perlu pula cemas pula soal jumlah view google dan label tulisan. Sedikit banyaknya view itu sulit dikondisikan karena ada di wilayah hak prerogatif pembaca. Begitu juga dengan kuasa pencantuman label yang dimiliki admin. Tak bisa kita kudeta. Meski Anda berteriak: ...bersatulah kaum Kompasianer sedunia!
Menulis politik --yang berarti menyuarakan aspirasi-- berfungsi mengimbangi suara-suara politisi dengan segenap kepentingan dan sumber daya mereka masing-masing. Atau, bisa pula untuk mewakili gagasan dari mereka-mereka yang tidak sempat atau tidak mampu dikemukakan (ini klaim sepihak).
Tetapi selalu ada setan mudarat yang ikut serta. Meskipun era kebebasan menyatakan pendapat sedang kita alami, tetapi kebebasan itu sendiri ibarat pisau bermata ganda.
Kita berada pada zaman di mana kata-kata dan kalimat bisa diproduksi atau di-reproduksi secara otomatis berkat kemajuan teknologi informasi. Teknologi yang memiliki sisi gelap dalam hal kemampuan manipulatifnya.
Selain robot virtual yang bisa direkayasa untuk  --seolah-olah-- mewakili eksistensi manusia, gagasan atau ide politik bisa pula dibuat untuk memenuhi  pesanan. Sebagai contoh yaitu ketika musim pemilu atau pilkada tiba.
Tetapi soal yang terakhir tadi memang debatable. Banyak faktor kondisional yang ikut menentukan. Perlu pembahasan tersendiri yang mungkin justru tidak diperlukan. Hal itu pernah dilakukan dalam skala massif yang berujung pada  perseteruan baru. Yang jelas kampanye hitam tidak boleh.
Dalam tataran kondisi seperti ini maka penulis independen beserta infrastruktur kanal-kanal penyaluran karyanya adalah komponen penting dari kebebasan itu sendiri. Betapa pun absurdnya suatu artikel politik yang dikemukakan, tetapi sekurang-kurangnya hal itu sudah berarti pemenuhan satu hak warga negara.
Bandingkan dengan ribuan bot yang bisa diorkestrasi untuk menyampaikan suatu citra palsu atau kepentingan tertentu. Tulisan organik yang handmade  adalah pembeda utama dengan ribuan bot hasil rekayasa itu.
Sebelum menjadi tambah panjang dan kian lebar, kita akhiri saja sampai di sini,
... di masa pembangunan ini,
tuan hidup kembali,
dan bara kagum menjadi api....
Ngomong-ngomong ini zaman apa ya? Jangan-jangan zaman Diponegoro.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H