Sebagai contoh, dalam demo omnibus law tiga hari kemarin di mana kita dapat melihat jelas adanya ketimpangan antara masalah yang didemo dengan kerusakan yang ditimbulkan. Sangat tidak proporsional. Demo lebih cenderung tampak sebagai gerakan sistematis yang destruktif, baik secara tematik maupun secara fisik.
Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa disinformasi dan hoaks telah merusak maksud baik yang ingin dicapai pemerintah. Terlepas dari siapa yang lebih dulu buruk komunikasinya namun jelas sudah diakui bahwa kegagalan komunikasi telah terjadi.
Respon terhadap demo omnibus law pihak Jokowi
Tanggapan-tanggapan dari para menteri, kepala daerah, dan aparat mengarah pada indikasi gerakan by design. Terencana.Â
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menuding adanya pihak yang menjadi sponsor demo buruh dan mahasiswa plus STM. Demikian pula dari pihak kepolisian yang mencurigai anarko sindikalisme. Dari netizen yang setuju omnibus juga relatif sama begitu, dengan serangkaian bukti foto-foto yang mendukung.Â
Pada lain pihak dari luar istana sudah pula ada sanggahan. Pers Partai Demokrat Ossy Dermawan membuat pernyataan sikap politik menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja dan tetap bersama rakyat.
Soal respon yang sepadan tentu disayangkan jika pihak istana membuat pernyataan spekulatif. Kalkulasi kerusakan fasilitas publik dan produktivitas bernilai ratusan milyar tidak impas jika ditanggapi dengan pernyataan spekulatif. Sebagai otoritas yang menguasai alat-alat kekuasaan secara legal maka sudah menjadi kewajiban pihak eksekutif untuk membuktikan kecurigaan-kecurigaan yang diungkapkan.
Rekaman CCTV, bukti komunikasi, foto unggahan warganet di media, laporan jurnalis, transaksi aliran dana; semuanya pemerintah bisa akses untuk membekuk si pembuat onar.
Dengan segenap kemampuan dan fasilitas yang luar biasa itu tentu bukan level jika pejabat pemerintah hanya mampu berwacana. Kalau cuma segitu kemampuannya lebih baik ngeblog saja.***