Pertanyaan Dedi kepada kursi seperti  berkaitan dengan kepergian presiden keluar istana (menengok food estate di Kalteng, 08/10/2020) ketika demo Omnibus Law UU Cipta Kerja sedang memuncak. Kebetulannya, insiden pesan "tak sengaja" yang  tayang di Mata Najwa juga terjadi ketika acara tersebut membahas UU Cipta Kerja itu.
Jika pesan tak sengaja memang dimaksudkan sebagai sebuah pesan, lantas amanat atau kesan apa yang ingin disampaikan si penulis lewat Mata Najwa? Apakah mungkin presenter yang terlalu populer seperti Najwa Shihab diintimidasi oleh pihak yang merasa dirugikan dengan acaranya?
Atau justru Mata Najwa dimanfaatkan orang atau kelompok orang yang ingin memberi kesan intimidatif rezim Jokowi. Dengan pesan bernada ancaman itu mau tidak mau imajinasi publik akan mengaitkan kritik dengan pembungkaman. Praktik yang lazim dilakukan di masa lalu.
Pembungkaman bukan gaya Jokowi
Soal intimidasi atau pembungkaman rasanya bukan gaya Jokowi yang dibesarkan dalam kultur partai yang pernah bersikap opositif, PDIP.
Sekarang tentu berbeda keadaannya; baik akibat pergeseran rezim yang berkuasa maupun sebab-sebab kemajuan teknologi. Zaman buruh Marsinah dahulu, suara kritis dan gugatan bisa berujung penganiayaan dan kematian. Â Seperti juga kasus pembunuhan wartawan Udin yang tak pernah terungkap aktor utamanya. Hal ini bukannya tidak mungkin terjadi pada masa kini, tapi jauh lebih sulit mengingat corong media ada di mana-mana. Pot kembang pun sekarang sudah bisa menguping.
Namun menyimpulkan bahwa insiden pesan dalam kertas bekas sebagai sebuah permainan akan membawa konsekuensi spekulatif soal apa dan siapa si pemilik pesan sesungguhnya.
Ketika polemik pandemi dan kisruh omnibus law semakin kompleks, peran insiden pesan dalam kertas bekas dapat digunakan untuk mengaburkan persoalan inti. Bahwa saat ini tidak ada dialog konstruktif yang dapat berjalan dan ada yang ingin mempertahankan kondisi itu. Semua berbicara lewat media tetapi semuanya terjadi secara serentak dan nyaris tanpa ada komunikasi.
Media multikanal dengan kelimpahan kapasitas penyimpanan data telah menjadi lautan argumentasi berbagai pihak dan kepentingan. Sayangnya anugerah kelimpahan tersebut tidak diiringi dengan elaborasi gagasan yang mengarah pada solusi efektif yang maslahat. Anugerah yang bikin tambah gerah.
Dalam kondisi tersebut logika penguasaan media berarti pula penguasaan opini publik. Siapa yang menguasai trending lebih lama maka dialah yang akan mendominasi versi kebenaran menurut kepentingannya.
Dengan situasi chaos ini tentu pihak yang dirugikan adalah pemerintah. Logikanya, jika keadaan tidak terkendali berlangsung lama maka citra kegagalan akan melekat. Tidak bagus secara politik.