Gubernur Ridwan Kamil yang sejak awal tidak terlibat rivalitas politik dengan pemerintah pusat, relatif lebih dapat bekerjasama secara sinergis. Jokowi dan Menteri PUPR sendiri secara demonstratif menunjukkan hal itu pada waktu peresmian Terowongan Nanjung sebagai solusi banjir tahunan di Bandung dan sekitarnya.
Atau bisa juga saat ini di tingkat elit memang sedang terjadi pergerakan lempeng-lempeng kepentingan politik yang pada saatnya nanti (2024) akan berbenturan.
Anies Baswedan  yang tampak seperti duri dalam daging rezim Jokowi mungkin tidak sendiri.
Setelah Surya Paloh, Ketum Nasdem yang notabene anggota koalisi petahana, kini SBY pun tampak mulai memanaskan suhu politik nasional.
Kritikan Ketum Demokrat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri terasa sebagai peringatan seorang senior kepada juniornya tetapi juga bernuansa ancaman politis.
Cara SBY memilih kata seperti "penjatuhan menteri" atau "investigasi dana kampanye" menunjukkan framing yang sedang bekerja dalam pikiran mantan presiden tersebut.
Terlepas dari apapun penyebab tidak nyambungnya orientasi pembangunan gubernur dulu dan sekarang, juga buruknya hubungan Pemprov DKI dengan pemerintah pusat saat ini; Jokowi harus merintis babakan baru komunikasi politik yang bersifat konstruktif.
Periode mendatang mungkin oposisi dapat merebut RI-01, mungkin juga koalisi petahana (yang saat ini begitu kuat) dapat terus berkuasa.
Siapapun sosok terpilih, Jokowi harus menyusun kerangka transformasi orientasi kebijakan pembangunan nasional.
Secara de jure, harus  ada payung hukum dalam bentuk produk perundang-undangan; secara de facto, Jokowi harus memastikan bahwa sistem pemerintahannya yang meritokratis. Figur yang berkompeten harus diutamakan menempati jabatan sesuai bidang, bukan semata karena pertukaran kepentingan.
Seratus hari sudah hilang menjadi bahan evaluasi; sisa hari berikut hingga akhir jabatan harus terbilang, sebagai hari-hari kehadiran pemerintahan yang lebih baik.***