Persoalan kronis Jakarta yang lain yaitu problem kemacetan saat ini memang seperti hilang dari bahasan.
Apakah hal itu karena penguraian simpul-simpul kemacetan memang sudah berhasil ataukah tidak dibicarakan karena tertutup isu yang lain? Faktanya, survei Tom Tom tahun 2019 menempatkan Jakarta pada ranking 10 dari 416 kota termacet di dunia (detik.com, 31/1/2020).
Berkebalikan dengan era sebelumnya di mana ide-ide solusi kemacetan berhamburan; jalan raya era Anies Baswedan malah sempat dikorbankan agar pedagang kaki lima leluasa berjualan.
Periode kedua Presiden Jokowi, berkaca pada Jakarta
Dari sedikit kilas balik nasib Jakarta di atas, kita dapat melihat bagaimana eratnya hubungan antara sosok pemimpin dengan nasib program kerja pemerintah yang menjadi tanggung jawab mereka.
Terpilih menjadi orang nomor satu itu adalah satu hal; tetapi menjalankan amanah secara total yang bertumpu kualifikasi dan kompetensi itu adalah hal lain yang berbeda.
Jokowi relatif berhasil menata Jakarta ketika dirinya memimpin; tetapi setelah ditinggal, pemerintahan di DKI seolah kehilangan greget dan daya tariknya.
Kepiawaian manajerial dan kecerdasan politik Jokowi tidak diiringi dengan perbaikan sistem di mana sosok pemimpin seharusnya tidak menjadi tumpuan satu-satunya yang menentukan keberhasilan pemerintahan.
Minimal untuk program-program esensial jangka panjang; pergantian kepemimpinan seharusnya disertai adanya transformasi orientasi kebijakan yang secara estafet direalisasikan di antara periode-periode kepemimpinan.
Pemimpin boleh berganti tetapi orientasi tujuan dan realisasinya harus progresif, sinergis dan konsisten.
Pencegahan banjir misalnya, hal urgen karena berkaitan dengan nasib jutaan warga ibukota; mengapa saat ini seolah begitu mudah tersandera oleh polemik pemilihan kata-kata? Juga soal revitalisasi Monas yang secara historis sudah berlangsung sejak era Sutiyoso; mengapa begitu gampang Pemprov DKI tersandung persoalan perizinan?