Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Pak Jokowi, Jangan Ulangi Kegagalan di Jakarta...!"

31 Januari 2020   05:56 Diperbarui: 31 Januari 2020   06:13 2915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi pada saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI, memeriksa saluran air, 11/11/2013 (kompas.com).

Tidak berapa lama setelah Joko Widodo terpilih menjadi Gubernur Jakarta, gebrakan kerja-kerja nyata yang dilakukannya langsung terasa. Pada waktu itu kebetulan penulis masih bekerja di sana.

Jalan provinsi yang biasa penulis lewati di kawasan Jakarta Barat yang selalu kotor karena jarang disapu tiba-tiba menjadi bersih rapi dan enak dilihat. Tiap hari petugas kebersihan membersihkan jalan itu dari sampah-sampah yang dibuang sembarangan.

Dari segi keamanan, preman-preman yang biasa hidup nyaman langsung disikat satu per satu. Tukang-tukang parkir ditertibkan dan titik-titik simpul kemacetan coba diurai. Salah satunya adalah kawasan pasar Tanah Abang yang jadi proyek percontohan (kompas.com, 3/6/2013). Dahulu begitu, entah bagaimana sekarang.

Kerja cepat Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) itu langsung jadi buah bibir. Wartawan  jadi pada kepo, apa sebenarnya dan bagaimana Jokowi bekerja sehari-hari. Kemana Jokowi pergi, kuli tinta membuntuti.

Setelah itu sepertinya tiada hari di ibukota tanpa berita tentang kader usungan PDIP dan Gerindra itu.

Program-program Jokowi-Ahok sebenarnya biasa saja. Membersihkan selokan, mengeruk danau, mengurai kemacetan jalan, bersilaturahmi dengan warga; tidak ada yang terlalu istimewa.

Keistimewaannya (jika dianggap demikian) barangkali karena program-program Pemprov DKI kala itu dikerjakan Jokowi dengan militan.

Anak buahnya pun tak luput dari incaran tajam matanya yang menelanjangi kinerja mereka. Alhasil, pejabat dan pegawai yang lamban dan nir-kualitas langsung digulung masuk kotak. Program lelang jabatan pun memberi kesempatan terbuka bagi mereka yang punya keunggulan kualitas kerja dan kompetensi.

Jakarta sepeninggal Jokowi

Setelah Jokowi terpilih menjadi presiden periode 2014-2019, Wagub Ahok  pindah kursi. Tadinya DKI-02 sekarang duduk di kursi utama.

Kerja Ahok mungkin oke, tetapi jika diibaratkan permainan catur, pertahanan dan manuver politiknya terlalu terbuka.

Transparan  kepemimpinan Ahok mungkin overdosis, menghilangkan sekat dunia nyata dengan jagat maya. Apa yang dikerjakan dan dikatakannya langsung diunggah ke media sosial; padahal musuh-musuh politik dan mereka yang terusik kepentingannya sedang menunggu waktu untuk menikam.

Dan akhirnya memang demikian kejadiannya. Gara-gara pelintiran rekaman digital yang diunggah di dunia maya, Ahok pun terjungkal.  Sepotong ayat yang terucap di Pulau Seribu menjadi sandungan dan mengantarkan gubernur ke sel Mako Brimob, Kelapa Dua.

Jakarta setelah itu hingga pergiliran periode kepemimpinan berikutnya, Pilgub 2018, tidak sepi dari sengketa. Ahok-Jarot sebagai petahana kemudian tersingkir oleh kubu penantang, Anies-Sandiaga.

Penutupan sebagian badan Jalan Jatibaru, Tanah Abang, yang digunakan oleh pedagang kaki lima untuk berjualan, Februari 2018 (wartakota.tribunnews.com).
Penutupan sebagian badan Jalan Jatibaru, Tanah Abang, yang digunakan oleh pedagang kaki lima untuk berjualan, Februari 2018 (wartakota.tribunnews.com).
Bisa dikatakan belum ada yang istimewa dari kerja gubernur terpilih plus TGUPP-nya itu; Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan. Malah sebaliknya, hal-hal baik yang dilakukan pendahulunya kemudian hilang satu demi satu.

Sistem lelang jabatan untuk memilih pejabat terbaik entah bagaimana kabarnya. Dan balaikota pun kembali jauh dari warga.  Program-program kerja DKI sekarang cenderung mengarah untuk memoles muka. Beautifikasi.

Anies lebih dikenal publik di media dengan sejumlah program kosmetika.

Program/ proyek itu antara lain patung bambu Getah Getih di Bundaran HI yang kemudian diikuti pemasangan seni instalasi gabion. Perluasan beberapa ruas trotoar (yang mempersempit jalan) juga ditengarai menyebabkan penyempitan jalan dan hilangnya pohon-pohon peneduh.

Sempat pula jadi sorotan yaitu penghilangan atap JPO (jembatan penyeberangan orang); dan terkini proyek revitalisasi Monumen Nasional yang mengakibatkan raibnya ratusan pohon peneduh.

Di sisi lain program pencegahan banjir dan penguraian simpul-simpul kemacetan malah seperti terabaikan.

Yang kita dengar dari Jakarta saat ini antara lain polemik antara konsep normalisasi vs. naturalisasi yang berdampak pada terhambatnya pemeliharaan sungai-sungai dan danau. Naturalisasi gagasan Anies gigih dipertahankan tetapi juga pada akhirnya tidak jelas bagaimana ide itu dikerjakan.

Sumur-sumur resapan yang banyak dibuat di era Jokowi belum terdengar kelanjutannya meski kerap jadi andalan argumentasi Anies ketika berbicara soal pencegahan banjir tahunan. Sementara, proyek sodetan Ciliwung-BKT (Banjir Kanal Timur) tertunda karena terhambat masalah pembebasan lahan.

Persoalan kronis Jakarta yang lain yaitu problem kemacetan saat ini memang seperti hilang dari bahasan.

Apakah hal itu karena penguraian simpul-simpul kemacetan memang sudah berhasil ataukah tidak dibicarakan karena tertutup isu yang lain? Faktanya, survei Tom Tom tahun 2019 menempatkan Jakarta pada ranking 10 dari 416 kota termacet di dunia (detik.com, 31/1/2020).

Berkebalikan dengan era sebelumnya di mana ide-ide solusi kemacetan berhamburan; jalan raya era Anies Baswedan malah sempat dikorbankan agar pedagang kaki lima leluasa berjualan.

Periode kedua Presiden Jokowi, berkaca pada Jakarta

Dari sedikit kilas balik nasib Jakarta di atas, kita dapat melihat bagaimana eratnya hubungan antara sosok pemimpin dengan nasib program kerja pemerintah yang menjadi tanggung jawab mereka.

Terpilih menjadi orang nomor satu itu adalah satu hal; tetapi menjalankan amanah secara total yang bertumpu kualifikasi dan kompetensi itu adalah hal lain yang berbeda.

Jokowi relatif berhasil menata Jakarta ketika dirinya memimpin; tetapi setelah ditinggal, pemerintahan di DKI seolah kehilangan greget dan daya tariknya.

Kepiawaian manajerial dan kecerdasan politik Jokowi tidak diiringi dengan perbaikan sistem di mana sosok pemimpin seharusnya tidak menjadi tumpuan satu-satunya yang menentukan keberhasilan pemerintahan.

Minimal untuk program-program esensial jangka panjang; pergantian kepemimpinan seharusnya disertai adanya transformasi orientasi kebijakan yang secara estafet direalisasikan di antara periode-periode kepemimpinan.

Pemimpin boleh berganti tetapi orientasi tujuan dan realisasinya harus progresif, sinergis dan konsisten.

Pencegahan banjir misalnya, hal urgen karena berkaitan dengan nasib jutaan warga ibukota; mengapa saat ini seolah begitu mudah tersandera oleh polemik pemilihan kata-kata? Juga soal revitalisasi Monas yang secara historis sudah berlangsung sejak era Sutiyoso; mengapa begitu gampang Pemprov DKI tersandung persoalan perizinan?

Artinya, ada keterputusan transfer informasi yang menyebabkan kelalaian fatal itu bisa terjadi. Kasus tersebut sejatinya juga menampar wajah pejabat biro hukum dan TGUPP yang dibayar mahal itu.

Sebagai presiden yang terpilih dua kali, selain merealisasikan janji-janji kampanye Jokowi juga harus jeli memperhitungkan persiapan-persiapan yang sifatnya transformatif. Tidak hanya untuk masa jabatan saat ini tetapi juga periode kepemimpinan mendatang.

Persiapan transformatif di sini bukan berarti semangat untuk melanggengkan kekuasaan tetapi lebih pada bagaimana proses politik Pemilu nanti tidak mencederai semangat kolektif bangsa untuk terus maju bersama-sama.

Beberapa hal menjadi catatan dalam 100 hari periode kedua pemerintahan Jokowi.

Kesan inkonsistensi pada beberapa jabatan menteri tak terhindarkan karena munculnya kasus dan adanya perubahan kebijakan. Yang menonjol tentu kasus Kementerian  BUMN dan KKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Pada Kementerian BUMN, saat ini sedang digoyang kasus megakorupsi Jiwasraya dan Asabri yang mungkin menyeret nama pejabat-pejabat terdahulu. Publik dapat menilai, masalah keuangan pada kedua BUMN tersebut tentu tidak terjadi dalam tempo 100 hari ini ketika Erick Thohir menjabat menteri.

Pernyataan Jokowi bahwa kasus Jiwasraya sudah berlangsung sejak 10 tahun lalu, dan baru diketahui dalam 3 tahun ini  jelas eksplisit tersirat, era Rini Suwandi sebagai pendahulu Erick termasuk di dalamnya.

Seandainya sistem kontrol dan pengawasan kinerja menteri berjalan baik seharusnya kisruh Jiwasraya tentu dapat ditangani lebih dini, sejak 3 tahun lalu itu.

Kasus berikutnya adalah kebijakan Menteri Kelautan yang kontroversial soal ekspor benih lobster dan penenggelaman kapal pencuri ikan.

Kebijakan tegas Menteri Susi Pudjiastuti yang pro-sustainable legal fishing seharusnya didukung penuh sesuai harapan masyarakat. Menjadi kontraproduktif ketika menteri baru secara terang-terangan seolah-olah begitu mudah membalik orientasi kebijakan ke arah yang berlawanan.

Bahasa komunikasi pejabat yang secara vulgar menihilkan kebijakan terdahulu, terbukti menimbulkan tanda tanya; mengapa presidennya sama tetapi kebijakannya kok berbeda?

Pelajaran dari Jakarta

Banyak hipotesa dapat dikemukakan dari kasus pergantian gubernur di Jakarta yang tidak disertai proses transformasi gagasan dan orientasi kebijakan.

Pemicunya bisa punya banyak sebab; apakah karena masalah perbedaan kompetensi; miskomunikasi politik pascapemilu; ataukah karena adanya manuver salah satu atau kedua-dua pihak.

Anies Baswedan --yang sendirian tanpa wagub-- mungkin salah pilih pejabat pembantu sehingga kekurangan-kekurangan manajerial yang ada pada dirinya tidak terkompensasi dengan baik.

Mungkin juga Gubernur Anies ternyata memang sukses namun Departemen Humas DKI tidak mampu menjelaskan sejauh mana capaian-capaian Anies sudah diraih. Sementara, asumsi bahwa Anies kurang disukai media atau bahkan dikucilkan rasanya tidak punya dasar pijakan.

Dalam dua kasus yang melibatkan perang netizen vs. media mainstream terbukti; pro Jokowi yang pernah bersengketa dengan media ternyata tidak berpengaruh banyak pada relasi antara media dengan Jokowi sendiri.

Kasus Tempo muncul ketika grup media terkemuka tersebut mengangkat tema buzzer istana dan kemudian diikuti media besar lain (tempo.co, 28/9/2019). Pro Jokowi membalas Tempo dengan gerakan down grade  1 bintang hingga uninstall aplikasi Tempo di Google Playstore.

Begitu juga ketika kompas.com berseteru dengan akun @kurawa (pro Jokowi) yang mengangkat tuduhan serius adanya suap dalam kasus gubernur rasa presiden (tempo.co, 20/1/2020). Beruntung kompas.com (tampaknya) memilih menahan diri; perang netizen vs. media mainstream jilid II akhirnya urung terjadi.

Penyebab lain yang mungkin menjadi kambing hitam buruknya serah terima tongkat estafet kepemimpinan di Jakarta adalah persoalan politik. Masalah yang agaknya terasa ada sangkut pautnya dengan kurang harmonisnya DKI dengan istana.

Sisa-sisa polarisasi kedua kubu --pro Ahok vs. pro Anies dan pro Jokowi vs. pro Prabowo-- mungkin (justru) masih kental di tingkat elit sehingga komunikasi yang lancar belum terwujud.

Jokowi bersama Gubernur Jawa Barat dan Menteri PUPR pada saat peresmian Terowongan Nanjung, 29/1/2020. Terowongan antibanjir yang dibuat sebagai solusi pencegahan banjir di Bandung Raya tersebut dikerjakan tahun 2017-2019 (antaranews.com).
Jokowi bersama Gubernur Jawa Barat dan Menteri PUPR pada saat peresmian Terowongan Nanjung, 29/1/2020. Terowongan antibanjir yang dibuat sebagai solusi pencegahan banjir di Bandung Raya tersebut dikerjakan tahun 2017-2019 (antaranews.com).
Persoalan komunikasi sebagai antitesis Jakarta bisa kita lihat di Jawa Barat.

Gubernur Ridwan Kamil yang sejak awal tidak terlibat rivalitas politik dengan pemerintah pusat, relatif lebih dapat bekerjasama secara sinergis. Jokowi dan Menteri PUPR sendiri secara demonstratif menunjukkan hal itu pada waktu peresmian Terowongan Nanjung sebagai solusi banjir tahunan di Bandung dan sekitarnya.

Atau bisa juga saat ini di tingkat elit memang sedang terjadi pergerakan lempeng-lempeng kepentingan politik yang pada saatnya nanti (2024) akan berbenturan.

Anies Baswedan  yang tampak seperti duri dalam daging rezim Jokowi mungkin tidak sendiri.

Setelah Surya Paloh, Ketum Nasdem yang notabene anggota koalisi petahana, kini SBY pun tampak mulai memanaskan suhu politik nasional.

Kritikan Ketum Demokrat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri terasa sebagai peringatan seorang senior kepada juniornya tetapi juga bernuansa ancaman politis.

Cara SBY memilih kata seperti "penjatuhan menteri" atau "investigasi dana kampanye" menunjukkan framing yang sedang bekerja dalam pikiran mantan presiden tersebut.

Terlepas dari apapun penyebab tidak nyambungnya orientasi pembangunan gubernur dulu dan sekarang, juga buruknya hubungan Pemprov DKI dengan pemerintah pusat saat ini; Jokowi harus merintis babakan baru komunikasi politik yang bersifat konstruktif.

Periode mendatang mungkin oposisi dapat merebut RI-01, mungkin juga koalisi petahana (yang saat ini begitu kuat) dapat terus berkuasa.

Siapapun sosok terpilih, Jokowi harus menyusun kerangka transformasi orientasi kebijakan pembangunan nasional.

Secara de jure, harus  ada payung hukum dalam bentuk produk perundang-undangan; secara de facto, Jokowi harus memastikan bahwa sistem pemerintahannya yang meritokratis. Figur yang berkompeten harus diutamakan menempati jabatan sesuai bidang, bukan semata karena pertukaran kepentingan.

Seratus hari sudah hilang menjadi bahan evaluasi; sisa hari berikut hingga akhir jabatan harus terbilang, sebagai hari-hari kehadiran pemerintahan yang lebih baik.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun