Presiden Jokowi, JIExpo Jakarta 10/01/2020:
"Saya tidak ingin berpanjang-lebar. Intinya seperti yang dikatakan Bung Karno dalam Trisakti, kita harus berdikari di bidang ekonomi sehingga kita tidak mudah ditekan-tekan lagi oleh siapa pun, oleh negara mana pun!”
Menghadapi kompetisi perekonomian global terkini, Jokowi andalkan beberapa komoditi kunci yang potensinya merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang selama ini kurang jeli dilirik atau ada yang sengaja menyembunyikan.
Setelah melarang ekspor bijih nikel yang membuat Uni Eropa naik pitam, Jokowi lanjut memperpanjang daftar komoditi lain yang selama ini diekspor mentah. Otomatis, harga jualnya pun sangat rendah.
Bauksit, timah, kopra, Crude Palm Oil (CPO), hingga batubara, satu per satu secara bertahap akan diolah sebelum dipasarkan. Proses hilirisasi komoditas-komoditas tersebut dapat meningkatkan nilai tambah dan defisit perdagangan dapat kita hindarkan.
CPO bisa dijadikan biofuel, dari B30 hingga B100 merujuk persentase kadar kandungannya. Sedangkan minyak kelapa bisa diolah menjadi avtur, bahan bakar pesawat terbang.
Jika suatu saat hal itu terwujud maka Indonesia dapat menjadi negara swasembada di bidang energi.
Tidak hanya sektor energi, kebijakan larangan ekspor bahan mentah juga akan meningkatkan devisa dan mendorong kemandirian perekonomian.
Jokowi menyampaikan rencana tersebut pada saat pidato dalam acara Rakernas PDIP, sekaligus memperingati HUT yang ke-27 di Jakarta di JIExpo Kemayoran, Jakarta (detik.com, 10/01/2020).
Wacana larangan ekspor bahan mentah yang dikemukakan Jokowi tidak terlepas dari keinginannya untuk mewujudkan konsep Indonesia Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.
Konsep berdikari dalam bentuk berupa kemandirian ekonomi adalah salah satu cita-cita Trisakti yang dicetuskan Soekarno, Bapak Proklamator kita.
Tiga tujuan yang terkandung dalam Trisakti yaitu: berdaulat dalam bidang politik; kemandirian ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Membebaskan Indonesia dari "resources curse"
Dua komoditas ekspor yang disebutkan Jokowi di awal tadi termasuk produk unggulan yang menyumbang devisa cukup besar; batubara dan kelapa sawit (CPO dan olahan).
Ketika Uni Eropa menghambat impor sawit dari Indonesia, dampak perekonomian yang kita rasakan cukup besar. Pemerintah kesulitan mencari pasar alternatif untuk menyerapnya.
Selain sawit produk utama hasil pertanian kita yaitu karet, kakao, dan kopi, serta produk perikanan.
Sementara itu di sektor mineral dan barang tambang, di luar batubara Indonesia antara lain punya bauksit, nikel, tembaga, dan bijih besi.
Cadangan batubara terbukti yang kita punya besarnya hampir 40 miliar ton. Sedangkan nikel, potensinya sebanyak 9 miliar metrik ton atau 23,7 % cadangan dunia (cnbc.co.id, 29/10/2019).
Data kandungan mineral lain dan umur cadangannya seperti yang dilansir detik.com, (o8/07/2019) yaitu:
- tembaga 2,76 miliar ton, untuk 39 tahun;
- besi 3 miliar ton, untuk 769 tahun;
- bauksit (bahan aluminium) 2,4 miliar ton, 422 tahun;
- emas 1.132 ton Au, untuk 28 tahun;
- perak 171.499 ton Ag, untuk 1.143 tahun;
- timah 1,5 juta ton Sn, untuk 21 tahun.
Rendahnya nilai ekonomi bahan mentah yang kita ekspor dan tingginya harga impor barang jadi membuat Indonesia sulit keluar dari "resources curse" atau kutukan sumber daya alam.
Negara-negara Afrika sudah mengalaminya; kaya raya potensi alamnya tetapi penduduknya masih terbelenggu kemiskinan.
Ketika kekayaan alam tidak berbanding lurus dengan kemakmuran dan peningkatan kualitas sumber daya manusia maka alarm tanda bahaya seharusnya sudah nyaring berbunyi. Sumber daya tersebut suatu saat pasti habis karena tidak dapat diperbarui.
Tanpa political will dari pemerintah, kekayaan alam bumi Nusantara juga pada akhirnya hanya akan dinikmati segelintir orang. Kesejahteraan rakyat secara merata tidak terwujud sesuai amanat konstitusi.
Larangan ekspor bahan mentah yang mengancam masa depan bangsa sejatinya sudah ada sejak lama, tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Akan tetapi realisasinya masih jauh panggang dari api.
Pihak-pihak di dalam dan luar negeri yang diuntungkan dengan ekspor bahan mentah, aktif menghambat implementasi undang-undang tersebut.
Pembangunan smelter pengolahan mineral misalnya, hingga saat ini instalasi itu belum terwujud. Berbagai konflik kepentingan menelikung salah satu fundamental proses hilirisasi sektor pertambangan tersebut.
Momentum sengketa dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa di WTO dan konflik di ZEE Natuna seharusnya dapat menyadarkan kita. Persaingan dagang dan perebutan sumber daya alam antar bangsa tidak akan pernah selesai sampai kapan pun.
Jokowi harus mampu membasmi parasit di dalam negeri yang mengambil keuntungan sesaat dari kekayaan alam hanya untuk kepentingan perseorangan. Mereka jelas mengkhianati konstitusi yang telah susah payah disusun dan diperjuangkan founding fathers bangsa ini.
Tanpa menyelesaikan permasalahan itu, sulit dibayangkan kita akan mampu bersaing dengan negara lain; apalagi memenangkan perang dagang melawan mereka.
Negara harus mempersempit ruang gerak jaringan mafia lintas sektor yang menjadi beban perekonomian nasional.
Pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu yang siap bertindak "gila" dan tidak punya beban (politik?) apa-apa akan diuji. Tantangannya, membebaskan Indonesia dari resources curse yang sudah terlalu lama membelenggu kemandirian perekonomian kita.
Jika kemandirian ekonomi tercapai maka cita-cita Indonesia Berdikari dengan sendirinya dapat terwujud; bukan hanya mimpi dan bukan pula sekadar jargon sejarah yang tidak berarti.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H