Larangan ekspor bahan mentah yang mengancam masa depan bangsa sejatinya sudah ada sejak lama, tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Akan tetapi realisasinya masih jauh panggang dari api.Â
Pihak-pihak di dalam dan luar negeri yang diuntungkan dengan ekspor bahan mentah, aktif menghambat implementasi undang-undang tersebut.
Pembangunan smelter pengolahan mineral misalnya, hingga saat ini instalasi itu belum terwujud. Berbagai konflik kepentingan menelikung salah satu fundamental proses hilirisasi sektor pertambangan tersebut.
Momentum sengketa dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa di WTO dan konflik di ZEE Natuna seharusnya dapat menyadarkan kita. Persaingan dagang dan perebutan sumber daya alam antar bangsa tidak akan pernah selesai sampai kapan pun.
Jokowi harus mampu membasmi parasit di dalam negeri  yang mengambil keuntungan sesaat dari kekayaan alam hanya untuk kepentingan perseorangan. Mereka jelas mengkhianati konstitusi yang telah susah payah disusun dan diperjuangkan  founding fathers bangsa ini.
Tanpa menyelesaikan permasalahan itu, sulit dibayangkan kita akan mampu bersaing dengan negara lain; apalagi memenangkan perang dagang melawan mereka.
Negara harus mempersempit ruang gerak jaringan mafia lintas sektor yang menjadi beban perekonomian  nasional.
Pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu yang siap bertindak "gila" dan tidak punya beban (politik?) apa-apa akan diuji. Tantangannya, membebaskan Indonesia dari  resources curse yang sudah terlalu lama membelenggu kemandirian perekonomian kita.
Jika kemandirian ekonomi tercapai maka cita-cita Indonesia Berdikari dengan sendirinya dapat terwujud; bukan hanya mimpi dan bukan pula sekadar jargon sejarah yang tidak berarti.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H