Membebaskan Indonesia dari "resources curse"Â
Dua komoditas ekspor yang disebutkan Jokowi di awal tadi termasuk produk unggulan yang menyumbang devisa cukup besar; batubara dan kelapa sawit (CPO dan olahan).
Ketika Uni Eropa menghambat impor sawit dari Indonesia, dampak perekonomian yang kita rasakan cukup besar. Pemerintah kesulitan mencari pasar alternatif untuk menyerapnya.
Selain sawit produk utama hasil pertanian kita yaitu karet, kakao, dan kopi, serta produk perikanan.
Sementara itu di sektor mineral dan barang tambang, di luar batubara Indonesia antara lain punya bauksit, nikel, tembaga, dan bijih besi.
Cadangan batubara terbukti yang kita punya besarnya hampir 40 miliar ton. Sedangkan nikel, potensinya sebanyak 9 miliar metrik ton atau 23,7 % cadangan dunia  (cnbc.co.id, 29/10/2019).
Data kandungan mineral lain dan umur cadangannya seperti  yang dilansir detik.com, (o8/07/2019)  yaitu:
- tembaga 2,76 miliar ton, untuk 39 tahun;
- besi 3 miliar ton, untuk 769 tahun;
- bauksit (bahan aluminium) 2,4 miliar ton, 422 tahun;
- emas 1.132 ton Au, untuk  28 tahun;
- perak 171.499 ton Ag, untuk 1.143 tahun;
- timah 1,5 juta ton Sn, untuk 21 tahun.
Rendahnya nilai ekonomi bahan mentah yang kita ekspor dan tingginya harga impor barang jadi membuat Indonesia sulit keluar dari "resources curse" atau kutukan sumber daya alam.
Negara-negara Afrika sudah mengalaminya; kaya raya potensi alamnya tetapi penduduknya masih terbelenggu kemiskinan.
Ketika kekayaan alam tidak berbanding lurus dengan kemakmuran dan peningkatan kualitas sumber daya manusia maka alarm tanda bahaya seharusnya sudah nyaring berbunyi. Sumber daya tersebut suatu saat pasti habis karena tidak dapat diperbarui.Â
Tanpa political will dari pemerintah, kekayaan alam bumi Nusantara juga pada akhirnya hanya akan dinikmati segelintir orang. Kesejahteraan rakyat secara merata tidak terwujud sesuai amanat konstitusi.