Mohon tunggu...
Agung Pratama
Agung Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Pegiat isu sosial, politik, gender, dan media. netizen barbar tapi kritis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyurati Para Ayah

12 November 2021   19:39 Diperbarui: 12 November 2021   21:17 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahan"


Kutipan dari tembang yang dilantunkan Ebiet G. Ade sangatlah tepat untuk menggambarkan bagaimana perjuangan ayah dalam menanggung hidup sebuah keluarga, kami para anak tidak akan menyangkal segala yang ayah berikan adalah yang terbaik. Raut wajah ayah setelah pulang bekerja adalah bahasa fisik yang dapat dibaca oleh isteri dan anak-anak.

Namun pada tulisan ini, penulis ingin melihat seorang ayah di sisi lainnya yang kerap diglorifikasi, sebuah sisi kelam yang menjadi masalah sosial yang sulit dihindari. Kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga. 

Berdasarkan data survei kerjasama KEMENSOS, KEMENPPPA, BAPPENAS, BPS, dan UNICEF INDONESIA pada tahun 2013 tercatat sebanyak 47 % anak laki-laki dan 35% anak perempuan yang belum berusia 18 tahun mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Adapun yang menjadi indikator kekerasan yaitu berupa pukulan, tendangan, cambukan, cekikan, penenggelaman, pembakaran, dipukul dengan benda dan senjata tajam.

Beberapa anak juga mengalami kekerasan emosional seperti ungkapan tidak sayang, tidak mengharapkan kelahiran, mengharapkan kematian, serta hinaan dan ungkapan merendahkan anak lainnya. Dengan mengutip hasil survei yang sama, yang menjadi pelaku kekerasan adalah 38% oleh ayah, 35% oleh kerabat lain, dan 26% dilakukan oleh ibu. 

Dari laporan UNICEF pada tahun 2015 juga menunjukkan bahwa 40% anak mendapat hukuman fisik sekali dalam setahun.

Dari data tersebut ayah memperoleh persentase tertinggi sebagai pelaku kekerasan terhadap anak, lalu angka persentase kekerasan terhadap anak juga termasuk tinggi, setidaknya setengah dari populasi anak laki-laki mendapat perlakuan keras dari ayah dan populasi anak perempuan juga mendapat perlakuan keras dari seorang ayah.

Namun terlepas dari data diatas, sebagai seorang anak juga dapat menerima perbuatan demikian ketika anak-anak benar-benar diluar kendali dan berpotensi merugikan banyak pihak apabila tidak menerima sanksi yang setimpal dari orangtua. Tapi bagaimana jika anak menerima perlakuan keras tanpa alasan yang jelas? Bagaimana ketika anak menjadi sasaran kemarahan yang entah darimana asalnya?

Toxic Parents adalah istilah yang cukup populer dan bentuk stereotype terhadap orangtua yang memiliki pola asuh keliru baik disengaja ataupun tidak disengaja yang dapat membebani kejiwaan anak. Dampak dari hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan masa depan anak serta masa depan orangtua itu sendiri. Seperti peribahasa populer "apa yang ditanam, itulah yang dituai".

Dari beberapa kasus yang penulis kumpulkan, ada beberapa tindakan toxic parents yang kerap didapatkan oleh anak, diantaranya ;


1. Penindasan dengan alasan 'badmood'
Kesehatan mental yang buruk memicu amarah setiap orang, termasuk saat orangtua yang kemudian menendang anak hanya dengan alasan yang tidak masuk akal. Misalnya karena lupa mematikan keran air, sepeda yang dirusak oleh teman, atau telat pulang karena kegiatan sekolah.


2. Mengungkit pemberian
Tak jarang beberapa orangtua berkata "semuanya ayah korbankan untuk membesarkanmu, masa kamu gak bisa nurut sedikit sama ayah, coba kalo dihitung ayah udah habis berapa duit membesarkanmu?".


3. Mengutuk anak
"Kamu brengsek, sialan, tidak tahu diuntung" kata-kata seperti ini tidak hanya ada dalam dialog film dan sinema, beberapa responden benar-benar mendapatkan kata-kata itu serta sumpah serapah dari orangtua.


4. Membuat standar tinggi
Menuntut anak menjadi apa yang diinginkan sehingga mengabaikan impian anak membuat anak dihantui stres berkepanjangan, yang tersulit adalah menuntut hal-hal yang diluar kapasitas anak.


5. Komunikasi satu arah
Ego menjadi orangtua menyebabkan anak harus menuruti setiap perintah yang keluar dari mulut orangtua, beberapa orangtua juga tidak memperkenankan anak mendiskusikan keluh kesah dan bertukar pikiran serta saran.


6. Mempermalukan anak di muka umum
Salah satu tindakan yang dapat mencabik-cabik perasaan anak adalah dipermalukan di tempat umum terlebih hal tersebut dilakukan oleh orangtua sendiri, anak akan merasa tidak berharga dan sangat rendah. Teriakan orangtua terhadap anak tidak selalu membuat pesan inti sampai kepada anak, maka sampaikanlah dengan bijaksana dan tegas.


7. Membeberkan aib anak
Sangat tidak menyangka tindakan ini penulis dapatkan juga dari seorang responden yang mengeluh tentang aib yang dibuka oleh orangtuanya sendiri, orang terdekat dan sedarah menyebarkan keburukan dan memperburuk imej diri dan keluarga.


8. Mencampuri privasi
Anak yang sudah berkeluarga seringkali dicampuri urusannya oleh orangtua, perlu diketahui bahwa hak privasi seorang anak tidak dapat diganggu walaupun oleh orangtua sendiri.


9. Melontarkan tuduhan
Tanpa mengetahui fakta yang jelas, orangtua menuduh anak-anaknya, berpandangan buruk hanya dengan kabar-kabar terdengar di telinga.


10. Menumbalkan anak
Demi sebuah ambisi pribadi, hak-hak, cita-cita, dan masa depan anak dirampas, hal ini juga dapat diartikan secara multitafsir,mengorbankan anak dalam bentuk apapun.


Terlepas dari poin-poin diatas, yang wajib dimengerti oleh anak-anak sekaligus orangtua, bahwa menjadi orangtua membesarkan anak dengan penuh cinta adalah hal yang ringan diucapkan tapi berat dalam eksekusinya, karena selalu bermunculan masalah baru dan hal-hal diluar dugaan. Penulis mewakili sudut pandang anak hanya menggambarkan sebagian kecil keluh kesah seorang anak kepada orangtua.

Ayah, alangkah sakit perasaan seorang anak ketika dipukul karena sepedanya rusak karena ulah temannya, alangkah terpuruk seorang anak ketika ditampar karena lupa mematikan keran air, atau sesederhana mengatakan "kamu anak yang tidak bisa diandalkan, tidak tahu diuntung, tak berguna" bagaimana hal tersebut bisa keluar dari mulut ayah yang dahulu bersimpuh di hadapan Tuhan agar kami dititipkan?

Sebagai anak, kami hanya menerima apa yang telah ditakdirkan. Tetapi melalui tulisan ini bisakah ayah mengerti bahwa diantara hak orangtua memperlakukan anak juga terdapat hak anak diperlakukan. Kami hanya ingin dukungan-dukungan kecil itu di setiap usaha dan upaya yang juga kami panjatkan kepada Tuhan. Kami tidak akan mendendam, di tengah keheningan kami hanya selalu berusaha dan berdo'a agar menjadi orangtua yang ideal bagi anak-anak kami nanti dan menghilangkan jejak hitam yang tertinggal.


Kami sayang ayah yah...


Selamat hari ayah...


Referensi :

1234

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun