Mohon tunggu...
Agung Pranoto
Agung Pranoto Mohon Tunggu... Mahasiswa - YAKUSA

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Monotheisme Titik Temu Agama Samawi

28 Juni 2021   19:18 Diperbarui: 28 Juni 2021   19:38 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MONOTHEISME TITIK TEMU AGAMA SAMAWI

A. PENDAHULUAN

Semua agama samawi mengatakan Tuhan itu Esa atau monotheisme sebagai bentuk kepercayaan yang benar. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan, dikarenakan kepercayaan itu akan melahirkan suatu bentuk tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Siakap tanpa kepercayaan atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan yang dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahasa.[1]

 Prof. Dr. Carl Gustaf Yung (psikilogi) menyatakan bahwa kepercayaan kepada tuhan merupakan kecenderungan manusia yang alamiah (naturaliter relogiosa). Kepercayaan kepada tuhan harus benar. Akan tetapi faktanya dalam masyarakat terdapat berbagai bentuk kepercayaan. seperti ada dewa alam dan lain sebaginya. Tiap-tiap kepercayaan itu melahirkan tata nilai norma yang dianut masyarakat dan menjadi tradisi. 

Agama samawi merupakan sebuah identitas agama yang terlahir di negari Timur Tengah, namun hal ini bukan pernyataan satu-satunya. Sebab dalam agama samawi terdapat sebuah ajaran yang mengajarkan kepada ketuhanan yang Maha Esa dan menentang syirik[2] , yang berarti melarang menyekutuhan Tuhan dengan sesuatu apapun. 

Selaras dengan ini Sutardi[3], merinci bahwa agama samawi merupakan agama yang datang dari wahyu yang bersumber dari Tuhan melalui seorang utusan yang bernama Rasul serta memegang risalah monotheis. Perhatian tersebut tertuju pada tiga agama monotheis yang ada, Islam, Nasrani dan Yahudi yang masing-masing dengan seorang Rasul, Muhammad, Isa (Yesus) dan Musa. Ketiga agama tersebut sama-sama mengakui Ibrahim sebagai bapak pembawa tauhid 'the foundation father's'.[4]  

Berdasarkan common word ini, di antara Yahudi, Nasrani, dan Islam tidak lagi berambisi merebut kebenaran yang paling benar. Sehingga konflik pada setiap agama baik Yahudi-Nasrani, Yahudi--Islam, Nasrani-Islam ataupun ketiga-tiganya langsung dapat di netralisir, demi menjunjung tinggi kesucian agama dan penghargaan pada kemanusiaan.[5] 

B. PEMBAHASAN

Agama-agama besar mengandung persepsi-persepsi varian dari "yang asal", yaitu realitas ketuhanan yang misterius dan respon-respon terhadapnya. John Hick sampai pada satu kesimpulan bahwa agama pada hakekatnya adalah jalan yang berbeda-beda menuju tujuan yang sama; the Ultimate, The Real atau Yang Ada (Tuhan). Namun penyebutan dan interpretasi manusia saja yang berbedabeda. Pluralisme agama John Hick tampaknya merupakan bentuk pengembangan dari paham inklusivisme.[6]

Dr. J. Verkuil dalam bukunya, Samakah Semua Agama? memuat kisah Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana) karya Lessing (1729-1781). Kesimpulan dari kisah itu adalah bahwa semua agama intinya sama. Intisari agama Kristen, menurutnya adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, demikian Verkuyl, juga terdapat pada agama Islam, Yahudi, dan agama lainnya. Konferensi Parlemen Agama-agama di Chicago tahun 1893, mendeklarasikan bahwa seluruh tembok pemisah antara berbagai agama di dunia sudah runtuh. Konferensi itu, lebih jauh menyerukan "persamaan" antara Kon Fu Tsu, Buddha, Islam dan agama lainnya.[7]

Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdalla, dan Prof. Dr. Said Agil Siradj, termasuk cendekiawan yang mengusung "pluralitas" dengan tendensi "menyamakan" agama-agama yang ada. Ulil Abshar Abdalla menyatakan, "Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar."[8] Said Agil Siradj menyatakan bahwa agama Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama yang "samasama" memiliki komitmen untuk menegakkan kalimat Tauhid, karena, secara geneologi, ketiga agama ini, mengakui bahwa Ibrahim adalah 'the foundation father's[9]. Lebih lanjut, Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa agama-agama hanyalah salah satu "pintu" menuju surga Tuhan yang satu. Dan surga Tuhan itu hanya bisa dimasuki dengan keikhlasan, pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya.[10]

Nurcholis Madjid berpendapat bahwa Islam "bukanlah" nama agama. Dengan menginterpretasi QS. Ali Imran [3] ayat 67, yang menceritakan tentang polemik kecil antara Yahudi dan Nasrani. Kedua kelompok ini, demikian Nurcholis, mengklaim Nabi Ibrahim a.s. masuk ke dalam golongannya. Lalu Al-Qur'an menegaskan bahwa Ibrahim adalah "hanifan musliman". Terma ini diartikan Madjid sebagai "seorang pencari kebenaran yang tulus dan murni (hanif), dan seorang yang berhasrat untuk pasrah". Ia keberatan bila kalimat itu diartikan bahwa Ibrahim adalah seorang muslim.[11] "Islam" bagi Nurcholis bukanlah nama sebuah agama formal (organized religion), karena menurutnya, istilah itu muncul pada abad kedua hijrah. Setiap agama yang mengajarkan sikap tunduk dan berserah diri, dalam pandangannya, adalah Islam. Karenanya, bukan hanya Islam (sebagai organized religion), namun Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan lain-lain adalah Islam. . Mengutip istilah Nurcholis Madjid, sebaik-baik agama di sisi Allah (baca: Yang Mutlak) ialah al-hanifiyah as-samhah, semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Karena itu, dengan perspektif "Teologi Inklusif", kelompok ini berpendapat bahwa pandangan subjektif seperti, "Hanya agama sayalah yang memberi keselamatan, sementara agama Anda tidak, dan bahkan menyesatkan" akan mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, dan berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan.[12]

Dari uraian di atas dapat dimengerti, bahwa pada esensinya semua agama menekankan pada ajaran pietisme (kesalehan), yakni proses pembersihan jiwa dengan melakukan berbagai kebajikan yang bersifat individual maupun sosial. Islam mengajarkan amanuwa 'amilu as-salihat (beriman dan beramal shaleh) ataupun tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa), begitu pula dengan Kristen yang menekankan ajaran cinta kasih, serta Buddha dan Hindu yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dengan tujuan akhir karmaphala atau moksa.

C. KESIMPULAN

Tiga agama samawi pada dasarnya telah memperlihatkan keterkaitan antara satu dengan yang lain. Landasan ini tertuju pada asal usul lahirnya tiga agama wahyu tersebut. Ibrahim atau Abraham menjadi benang merah yang menjawab pertanyaan yang selama ini mempersoalkan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dan gejolak-gejolak deskriminasi atas nama agama. 

Pernyataan common word di antara Yahudi, Nasrani dan Islam tersebut meliputi pada ajaran teologis keimanan bahwa Tuhan Allah adalah Yang Maha Esa, dengan melarang segala bentuk penyekutuan tak terkecuali penyembahan pada berhala-berhala. 

Pembenaran terhadap masing-masing ajaran dengan memaparkan beberapa kisah nabi dan rasul-Allah untuk dapat menemukan dasar keterkaitan mengenai kebenaran agama Allah. Pengajaran kebaikan pada sesama sebagai dasar hidup sebagai modal mencapai kemerdekaan dalam memperoleh kedamaian dan kebahagiaan di dunia hingga di keabadian.

Referensi:

[1] Solichin, candradimuka Mahasiswa (Jakarta pusat: sinergi persadatama foundation, 2010) hlm  242

[2] M. Quraisy Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama alQuran (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007):484

[3] Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keberagaman Budaya (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007): 23.

[4] Bambang Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2001): 169.

[5] Nilna Indriana, COMMON WORD DALAM TIGA AGAMA SAMAWI: ISLAM, KRISTEN DAN YAHUDI ( SEBUAH DIALOG ANTAR AGAMA MENUJU TITIK TEMU TEOLOGIS) An-Nas: Jurnal Humaniora Vol. 4, No.1, 2020 hlm 33

[6] Bandingkan dengan definisi Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa pluralism agama berwujud bond civility (ikatan keadaban, dimana masing-masing pemeluk agama punya kesediaan untuk melihat orang lain (baca: pemeluk agama lain) punya potensi untuk benar, dan diri sendiri punya potensi untuk salah. Maka absolutisme, faham mutlakan dan sistem kultus, bukanlah refleksi dari pluralisme agama. Untuk lebih jelas lihat Nurcholis Madjid, "Hak Asasi Manusia- Pluralisme Agama dan Integrasi Nasional (Konsepsi dan Aktualisasi)" dalam Anshari Thayib dkk. (ed.), HAM dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Pusat kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997), hlm. 70.

[7] M. Afif Anshori, MENCARI TITIK TEMU AGAMA-AGAMA DI RANAH ESOTERISME: Upaya Mengatasi Konflik Keagamaan, Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012

[8] Lihat Gatra, edisi 21 Desember 2002

[9] Bambang Noersena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2001), hlm. 165-169

[10] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 44

[11] Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), h. 54. Lihat juga Nurcholis Madjid, "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang" dalam H. Lukman Hakiem (Ed.), Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan Islam (Jakarta: LSIP, 1995), hlm. 71.

[12] Teologi Inklusif Nurcholis, baca Nurcholis Madjid, Teologi Inklusif (Jakarta: Kompas, 2001).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun