Keseimbangan Hidup: Menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sangat penting untuk menghindari burnout. Dengan keseimbangan, auditor dapat mempertahankan produktivitas dan kualitas kerja yang optimal.
Integritas dan Transparansi: Nilai-nilai integritas dan transparansi harus menjadi landasan dalam setiap tindakan profesional. Auditor harus menghindari godaan untuk menyalahgunakan posisi atau wewenang yang dimiliki.
Kolaborasi dan Empati: Dalam interaksi dengan rekan kerja dan klien, auditor harus mengutamakan kerja sama dan empati. Hal ini dapat menciptakan suasana kerja yang harmonis dan meningkatkan efektivitas kerja tim.
Melalui ajaran kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, kita dapat menemukan pendekatan baru yang dapat diterapkan dalam audit pajak dan kepemimpinan diri sendiri. Filosofi ini menekankan pentingnya introspeksi, keseimbangan, integritas, dan transparansi, yang semuanya relevan untuk mengatasi tantangan dalam dunia profesional modern. Dengan mengadopsi nilai-nilai ini, auditor dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih bijaksana dan penuh kebijaksanaan, sehingga mampu menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
What
Bagian ini menjelaskan esensi kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dan relevansinya dengan transformasi audit pajak serta kepemimpinan diri sendiri. Ki Ageng Suryomentaram adalah tokoh Jawa yang mendalami konsep kebahagiaan melalui filsafat hidup sederhana yang disebut sebagai "Enam SA" (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan seenaknya). Filosofi ini merupakan landasan yang membantu manusia untuk memahami diri sendiri, atau dikenal dengan istilah "Kawruh Jiwa." Kawruh Jiwa mengajarkan bahwa dengan memahami diri sendiri secara mendalam, seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati yang bebas dari keterikatan terhadap hal-hal duniawi.
Ki Ageng Suryomentaram berpendapat bahwa kebahagiaan tidak terletak pada seberapa banyak seseorang memiliki harta atau jabatan, melainkan pada kemampuan untuk hidup sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, tanpa berlebihan atau kekurangan. Enam SA ini memberikan panduan praktis untuk hidup sederhana: hanya menggunakan apa yang benar-benar dibutuhkan (Sa-butuhne), melakukan sesuatu yang diperlukan (Sa-perlune), dan hidup dalam batas yang cukup (Sa-cukupe). Filosofi ini juga menekankan pentingnya kejujuran (Sa-benere), menjalani hidup sesuai norma yang berlaku (Sa-mesthine), dan menemukan kenyamanan dalam kesederhanaan (Sak-penake).
Dalam konteks audit pajak, filosofi ini menjadi sangat relevan karena dunia audit sering kali diwarnai oleh tekanan moral dan konflik kepentingan. Transformasi audit pajak tidak hanya memerlukan keahlian teknis, tetapi juga integritas dan kemampuan untuk melakukan refleksi diri. Filosofi "Kawruh Jiwa" ini mengajarkan auditor untuk senantiasa jujur terhadap diri sendiri, menghindari sikap berlebihan dalam mengejar kepentingan pribadi, dan bertindak sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi.
Lebih jauh lagi, konsep kebatinan ini juga relevan dalam kepemimpinan diri sendiri. Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa sebelum seseorang dapat memimpin orang lain, ia harus terlebih dahulu memahami dan mengendalikan dirinya sendiri. Kepemimpinan sejati tidak hanya berakar pada kemampuan mengelola orang lain, tetapi juga pada kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan pribadi. Dengan menerapkan Enam SA, pemimpin dapat mengelola ego, meredam ambisi yang berlebihan, dan fokus pada tujuan yang lebih besar, seperti kesejahteraan bersama.
Transformasi audit pajak yang selaras dengan filosofi kebatinan ini melibatkan penguatan aspek refleksi diri di kalangan auditor. Misalnya, auditor diharapkan untuk tidak hanya mematuhi aturan formal, tetapi juga menilai keputusan mereka berdasarkan dampaknya terhadap keadilan dan kepentingan publik. Hal ini mencerminkan prinsip Sa-benere dan Sa-mesthine, di mana tindakan auditor harus didasarkan pada kebenaran dan norma yang berlaku. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini, audit pajak dapat menjadi instrumen yang tidak hanya memastikan kepatuhan fiskal, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.