Mohon tunggu...
Agung Parningotan
Agung Parningotan Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi - NIM 55523110020 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 1 - Pemeriksaan Pajak - Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak

21 Oktober 2024   21:55 Diperbarui: 21 Oktober 2024   22:30 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo

Dialektika Hermeneutis Hanacaraka dalam Prosedur Audit Pajak

Dialektika Hanacaraka adalah sebuah konsep yang berkembang dari kekayaan intelektual dan filsafat Jawa, yang tidak hanya berakar pada tradisi budaya, tetapi juga mencerminkan cara berpikir mendalam tentang kehidupan dan makna eksistensial manusia. Hanacaraka, sebagai aksara atau sistem tulisan Jawa, tidak hanya sekadar serangkaian huruf yang digunakan untuk komunikasi. Lebih dari itu, setiap aksara dalam Hanacaraka memuat simbolisme filosofis yang kompleks. Hal ini mencakup pemikiran tentang hubungan antar-entitas, baik manusia dengan manusia, manusia dengan alam, maupun manusia dengan Tuhan. Dalam bahasa Jawa, aksara ini diyakini menyimpan ajaran moral, nilai-nilai spiritual, serta pandangan tentang siklus kehidupan---dari awal penciptaan hingga akhir kehidupan. Dengan demikian, Hanacaraka tidak hanya berbicara tentang huruf atau kata-kata, tetapi juga sebuah mekanisme untuk memahami dunia dan kehidupan secara menyeluruh, baik dalam aspek lahiriah maupun batiniah.

Ketika dialektika Hanacaraka dihubungkan dengan prosedur audit pajak, muncul sebuah pendekatan yang lebih reflektif dan filosofis terhadap praktik yang pada umumnya dianggap teknis dan administratif. Prosedur audit pajak, yang biasanya dipandang sebagai proses linear dalam memeriksa kepatuhan entitas terhadap aturan perpajakan, dengan dialektika Hanacaraka, dapat dilihat sebagai suatu dialog yang lebih mendalam antara auditor, perusahaan, dan aturan perpajakan. Dialektika ini memandang audit sebagai sebuah siklus terus-menerus yang melibatkan tesis, antitesis, dan sintesis---sebuah proses hermeneutis yang mengandung interpretasi, pertentangan, dan penyelarasan. Pada akhirnya, pendekatan ini berupaya mencapai pemahaman yang lebih mendalam mengenai situasi entitas yang diaudit, serta bagaimana mereka berinteraksi dengan sistem perpajakan.

Konsep dialektika ini kemudian memungkinkan auditor dan entitas yang diaudit untuk tidak hanya saling bertukar data, tetapi juga untuk saling memahami konteks, perspektif, dan tantangan masing-masing. Prosedur audit tidak lagi dilihat sebagai upaya semata-mata untuk menemukan kesalahan, tetapi sebagai proses dialektis untuk menemukan kebenaran yang lebih tinggi. Auditor tidak hanya menjadi pemeriksa, tetapi juga menjadi fasilitator dialog, di mana entitas yang diaudit diajak untuk memahami posisi mereka dalam konteks aturan perpajakan yang berlaku. Ini sejalan dengan prinsip dasar hermeneutika, yang menekankan pentingnya dialog dan interpretasi dalam mencapai pemahaman bersama.

Dalam dunia audit pajak, yang sering kali bersifat teknis dan administratif, pendekatan seperti ini memberikan nuansa baru yang lebih filosofis. Biasanya, audit pajak difokuskan pada pemenuhan persyaratan hukum dan regulasi, serta pencarian atas ketidaksesuaian atau kesalahan dalam laporan keuangan. Namun, dengan menggunakan dialektika Hanacaraka, prosedur ini dapat dipandang sebagai proses yang lebih mendalam, di mana auditor dan entitas yang diaudit berperan aktif dalam mencapai pemahaman yang komprehensif terhadap situasi dan dinamika perpajakan yang dihadapi. Setiap fase dalam audit menjadi bagian dari siklus dialektis, yang terus berputar hingga ditemukan kebenaran yang mencerminkan keseimbangan antara aturan perpajakan, kondisi entitas, dan interpretasi auditor.

Apa itu Dialektika Hermeneutis Hanacaraka dalam Prosedur Audit Pajak?

Dialektika Hanacaraka adalah konsep yang berasal dari struktur aksara Jawa, di mana setiap huruf dan rangkaian aksara memiliki makna yang dalam dan simbolik. Aksara Hanacaraka tidak sekadar menyusun kata-kata, tetapi juga merupakan manifestasi dari siklus kehidupan yang menggambarkan berbagai tahapan interaksi manusia dan entitas lainnya, baik dalam tataran sosial, moral, maupun spiritual. Dalam konteks ini, dialektika Hanacaraka menjadi lebih dari sekadar bentuk komunikasi tertulis; ia mengandung dualitas dan dialektika, yaitu proses tesis, antitesis, dan sintesis yang berkelanjutan, serta menggambarkan dinamika hubungan antar entitas, konflik, dan upaya penyatuan yang sering kali terjadi dalam kehidupan.

Dalam konteks prosedur audit pajak, dialektika ini diterapkan untuk memaknai hubungan dan interaksi antara entitas yang diaudit (biasanya perusahaan), auditor, serta aturan-aturan perpajakan yang berlaku. Proses audit pajak, seperti halnya dialektika Hanacaraka, bukanlah proses linear yang bersifat satu arah, melainkan sebuah siklus yang berulang dan terus-menerus melibatkan interpretasi, pertentangan, dan penyelesaian. Dalam proses ini, setiap tahapan audit mencerminkan fase-fase dari dialektika Hanacaraka, yang terdiri dari empat rangkaian utama: "Ha Na Ca Ra Ka", "Da Ta Sa Wa La", "Pa Dha Ja Ya Nya", dan "Ma Ga Ba Tha Nga". Setiap rangkaian memiliki makna filosofis yang menggambarkan perjalanan dialektis dan hermeneutis dalam menjalani proses audit.

"Ha Na Ca Ra Ka" -- Tesis (Tahap Pengumpulan Data)

Tahap awal dari audit pajak, yang diwakili oleh rangkaian "Ha Na Ca Ra Ka", menggambarkan keberadaan data atau entitas yang sedang diperiksa. Secara simbolis, "Ha Na Ca Ra Ka" merujuk pada adanya entitas yang hadir dan memiliki sesuatu yang ingin diungkapkan. Dalam konteks audit pajak, entitas ini adalah perusahaan atau pihak yang sedang diaudit, dan yang dihadirkan adalah data atau informasi terkait pajak, laporan keuangan, catatan transaksi, serta berbagai dokumen pendukung lainnya.

"Da Ta Sa Wa La" -- Antitesis (Tahap Identifikasi Ketidaksesuaian dan Pertentangan)

Setelah data awal dikumpulkan dan dianalisis, tahap berikutnya dalam proses audit pajak adalah identifikasi terhadap antitesis, yang diwakili oleh rangkaian aksara "Da Ta Sa Wa La". Dalam konteks Hanacaraka, "Da Ta Sa Wa La" mencerminkan adanya pertentangan atau ketidakselarasan. Ini adalah fase di mana terjadi perdebatan atau konflik antara data yang disajikan dengan aturan atau kenyataan yang ada. Pada tahap audit pajak, antitesis ini muncul ketika auditor menemukan adanya ketidaksesuaian, anomali, atau bahkan potensi pelanggaran dalam data yang diajukan.

"Pa Dha Ja Ya Nya" -- Sintesis (Tahap Penyelesaian dan Dialog)

Setelah adanya pertentangan antara data yang disajikan dan aturan perpajakan, tahap berikutnya adalah mencari sintesis, yang diwakili oleh aksara "Pa Dha Ja Ya Nya". Sintesis dalam dialektika Hanacaraka mencerminkan upaya untuk mencapai kesepakatan atau keseimbangan antara pihak-pihak yang bertentangan. Dalam konteks audit pajak, ini adalah fase di mana auditor dan perusahaan berusaha untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

"Ma Ga Ba Tha Nga" -- Kesimpulan (Tahap Akhir dan Evaluasi)

Tahap terakhir dari proses dialektika Hanacaraka adalah "Ma Ga Ba Tha Nga", yang melambangkan akhir dari perjalanan dialektis dan kesimpulan dari proses audit. Dalam konteks audit pajak, ini adalah tahap di mana auditor menyusun laporan akhir yang berisi temuan dari seluruh proses audit, termasuk apakah perusahaan telah mematuhi aturan perpajakan atau tidak.

Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo
Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo

Mengapa Dialektika Hanacaraka Relevan dalam Audit Pajak?

Dialektika Hanacaraka tidak hanya sekadar bentuk abstraksi atau konsep tradisional yang bersifat kultural, tetapi merupakan pendekatan filosofis yang sangat relevan ketika diterapkan dalam konteks audit pajak. Dalam audit pajak, yang merupakan prosedur yang kompleks dan melibatkan pemeriksaan yang mendalam terhadap data keuangan dan pajak perusahaan, pendekatan dialektika ini menawarkan kerangka kerja yang lebih komprehensif dan reflektif. Pada dasarnya, dialektika Hanacaraka memberikan cara pandang yang lebih holistik dalam memandang keseluruhan proses audit. Audit pajak bukan hanya soal mengumpulkan, memeriksa, dan menilai data, tetapi juga memahami konteks operasional, dinamika internal, dan eksternal yang memengaruhi entitas yang diaudit.

1. Prinsip Dialektika: Memahami Pertentangan sebagai Bagian dari Proses Menuju Kebenaran

Dalam konteks audit, prinsip dasar dari dialektika Hanacaraka adalah tesis, antitesis, dan sintesis. Proses ini sangat relevan dengan audit pajak karena setiap tahap audit melibatkan interaksi antara data yang diajukan oleh perusahaan, peraturan perpajakan yang berlaku, serta penilaian auditor. Konflik atau pertentangan yang terjadi antara data yang diaudit dan aturan perpajakan sering kali dianggap sebagai masalah dalam audit. Namun, dalam perspektif dialektika Hanacaraka, pertentangan tersebut bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan bagian integral dari proses mencapai kebenaran.

Dialektika Hanacaraka mengajarkan bahwa dualitas dan pertentangan adalah aspek alami dari setiap proses. Ketika auditor menemukan ketidaksesuaian antara laporan perusahaan dengan regulasi perpajakan, hal ini sebenarnya membuka ruang untuk dialog dan penyelesaian masalah. Dalam proses dialektis, konflik bukanlah akhir dari proses, tetapi justru tahap penting untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam. Misalnya, ketika auditor menemukan ketidaksesuaian dalam perhitungan pajak yang diajukan oleh perusahaan, konflik ini memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk berdialog, saling memahami interpretasi masing-masing terhadap aturan perpajakan, dan akhirnya mencapai kesepakatan melalui sintesis.

2. Pendekatan Holistik: Mengakomodasi Berbagai Perspektif dan Interpretasi

Relevansi lainnya dari dialektika Hanacaraka dalam audit pajak adalah kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai perspektif. Proses audit pajak bukanlah proses yang kaku dan hanya berdasarkan aturan baku. Dalam banyak kasus, audit melibatkan pemahaman yang lebih luas terhadap situasi dan konteks yang memengaruhi perusahaan. Misalnya, perusahaan mungkin menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, perubahan regulasi, atau dinamika pasar yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban pajak. Dalam situasi seperti ini, auditor tidak bisa hanya berpegang pada aturan formal tanpa mempertimbangkan konteks di mana entitas beroperasi.

Dialektika Hanacaraka, dengan filosofi yang menghargai keselarasan dan harmoni, memungkinkan auditor untuk lebih peka terhadap konteks operasional entitas yang diaudit. Filosofi ini mengajarkan bahwa setiap situasi harus dipahami dengan pemahaman mendalam terhadap latar belakang dan kondisi yang melingkupinya. Oleh karena itu, pendekatan ini memungkinkan auditor untuk melihat lebih jauh dari sekadar kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga untuk memahami bagaimana faktor eksternal dan internal mempengaruhi kinerja perpajakan perusahaan. Keselarasan antara aturan perpajakan dan situasi unik perusahaan adalah kunci dalam mencapai hasil audit yang adil dan bijaksana.

3. Menggabungkan Pendekatan Teknis dan Filosofis dalam Audit

Dalam banyak kasus audit pajak, auditor sering kali berfokus pada aspek teknis dari proses audit, seperti memeriksa laporan keuangan, menghitung pajak yang terutang, dan memverifikasi bukti transaksi. Meskipun ini adalah bagian penting dari audit, dialektika Hanacaraka memperkenalkan dimensi filosofis yang lebih luas dalam prosedur audit. Filosofi Hanacaraka mengajarkan bahwa kehidupan, dan dengan demikian juga proses audit, terdiri dari siklus konflik dan resolusi yang berulang. Hal ini menekankan bahwa audit bukanlah proses satu arah yang berakhir ketika laporan disusun, tetapi merupakan proses interpretatif dan dialogis yang berkelanjutan.

Sebagai contoh, dalam audit pajak, setelah auditor menemukan ketidaksesuaian dalam data yang diajukan oleh perusahaan, langkah selanjutnya bukanlah langsung memberikan sanksi atau denda, tetapi terlebih dahulu melakukan dialog dengan perusahaan untuk memahami alasan di balik ketidaksesuaian tersebut. Ini bisa melibatkan diskusi tentang bagaimana perusahaan menafsirkan aturan perpajakan atau bagaimana kondisi eksternal mempengaruhi pelaporan keuangan mereka. Proses ini mencerminkan filosofi Hanacaraka, di mana kebenaran tidak ditemukan hanya dengan mencari kesalahan, tetapi melalui dialog yang terus-menerus antara berbagai pihak yang terlibat.

4. Relevansi Tesis, Antitesis, dan Sintesis dalam Audit Pajak

Jika kita melihat lebih dalam pada tahapan dialektis dalam Hanacaraka, relevansi ini semakin jelas ketika diterapkan dalam proses audit pajak:

  • Tesis: Ha Na Ca Ra Ka (Ada Utusan)
    Tesis adalah titik awal dari dialektika. Dalam audit pajak, data awal yang disajikan oleh perusahaan merupakan bentuk dari tesis. Data ini, yang mencakup laporan keuangan, pajak terutang, serta catatan lainnya, adalah representasi dari kebenaran awal yang disajikan oleh perusahaan untuk diperiksa oleh auditor. Data ini adalah gambaran tentang bagaimana perusahaan beroperasi dalam hal kepatuhan terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Proses ini mencerminkan "ada utusan," di mana perusahaan menyajikan data dan informasi kepada auditor sebagai dasar untuk pemeriksaan lebih lanjut.

  • Antitesis: Da Ta Sa Wa La (Pertentangan pada Kebenaran)
    Pada tahap antitesis, auditor mulai menganalisis data yang disajikan dan membandingkannya dengan aturan perpajakan. Ketika auditor menemukan ketidaksesuaian antara data dan aturan, maka terjadi pertentangan. Misalnya, laporan keuangan perusahaan mungkin tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) atau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tahap ini penting karena membuka ruang bagi dialog antara perusahaan dan auditor untuk membahas perbedaan interpretasi atau ketidaksesuaian yang ditemukan.

  • Sintesis: Pa Dha Ja Ya Nya (Sama-sama Kuat)
    Pada tahap sintesis, auditor dan perusahaan berusaha mencapai kesepakatan atau titik temu. Dialog yang dilakukan selama proses audit bertujuan untuk menyatukan pandangan yang berbeda dan mencari solusi yang adil. Auditor mungkin meminta bukti tambahan atau penjelasan lebih lanjut dari perusahaan terkait data yang diajukan. Proses ini memerlukan keterbukaan dari kedua belah pihak dan menghasilkan kesimpulan yang didasarkan pada pemahaman bersama terhadap kondisi yang dihadapi.

  • Kesimpulan: Ma Ga Ba Tha Nga (Mati Bersama)
    Pada tahap akhir, kesimpulan dari audit disusun berdasarkan hasil dialog dan pemeriksaan yang telah dilakukan. Kesimpulan ini bisa berupa sanksi jika ditemukan pelanggaran serius, atau bisa juga berisi rekomendasi perbaikan bagi perusahaan. Tahap ini, seperti dalam dialektika Hanacaraka, menandakan akhir dari satu siklus audit dan bisa menjadi awal dari siklus baru jika diperlukan perbaikan atau tindak lanjut.

Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo
Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo

5. Mengakomodasi Fleksibilitas dalam Penafsiran Aturan Perpajakan

Salah satu alasan utama mengapa dialektika Hanacaraka sangat relevan dalam audit pajak adalah kemampuannya untuk mengakomodasi fleksibilitas dalam penafsiran. Dalam dunia perpajakan, aturan sering kali bersifat teknis dan kompleks. Tidak jarang terjadi perbedaan interpretasi antara perusahaan dan auditor mengenai bagaimana aturan perpajakan seharusnya diterapkan. Dalam pendekatan dialektis, auditor tidak serta-merta menetapkan aturan secara kaku, tetapi mencoba memahami interpretasi subjektif dari perusahaan terhadap aturan tersebut.

Misalnya, sebuah perusahaan mungkin memiliki cara yang berbeda dalam menghitung pajak penghasilan berdasarkan kondisi spesifik industri mereka. Auditor, melalui pendekatan dialektika, dapat membuka ruang untuk dialog dan diskusi terkait penafsiran aturan ini, sehingga keputusan yang diambil mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak. Hal ini juga menunjukkan bagaimana dialektika Hanacaraka bisa membawa hasil yang lebih bijaksana dan adil dalam proses audit pajak, di mana tidak hanya satu perspektif yang mendominasi, tetapi hasil akhirnya mencerminkan keselarasan dari berbagai sudut pandang.

Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo
Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo

Bagaimana Menerapkan Dialektika Hanacaraka dalam Audit Pajak?

Penerapan dialektika Hanacaraka dalam audit pajak menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan berfokus pada pemahaman mendalam terhadap setiap tahapan proses audit. Filosofi ini memungkinkan auditor untuk tidak hanya terfokus pada aspek teknis semata, tetapi juga menggali konteks di balik data yang diaudit, termasuk memahami kondisi unik dari entitas yang diaudit. Dengan memahami dialektika Hanacaraka sebagai siklus yang terus berulang melalui tahap tesis, antitesis, dan sintesis, auditor dapat mengembangkan proses yang tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga interpretatif dan dialogis. Proses audit, dengan pendekatan ini, menjadi sebuah perjalanan hermeneutis yang bertujuan untuk menemukan kebenaran melalui penggalian data, interpretasi aturan, serta dialog antara auditor dan entitas.

Secara rinci, penerapan dialektika Hanacaraka dalam audit pajak dapat dipecah menjadi beberapa tahapan kunci:

1. Identifikasi Data Awal: Tesis ("Ha Na Ca Ra Ka")

Tahapan awal dalam prosedur audit pajak dimulai dengan mengumpulkan data yang relevan dari entitas yang sedang diaudit. "Ha Na Ca Ra Ka", sebagai simbol dari tesis, melambangkan keberadaan data atau informasi awal yang menjadi dasar pemeriksaan. Dalam konteks ini, data yang dikumpulkan meliputi laporan keuangan, catatan transaksi bisnis, bukti-bukti pendukung, serta laporan pajak yang diajukan entitas kepada otoritas pajak. Data ini menjadi representasi dari bagaimana entitas tersebut beroperasi dan mematuhi regulasi perpajakan yang berlaku.

Pada tahap ini, auditor bertindak sebagai pengamat yang menerima dan memverifikasi data dari entitas yang diaudit. Auditor harus memastikan bahwa data yang disajikan telah disusun sesuai dengan format dan aturan yang berlaku, seperti Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan peraturan perpajakan yang relevan, misalnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Proses pengumpulan data ini mencakup:

  • Pemeriksaan laporan keuangan tahunan perusahaan, yang memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi keuangan entitas.
  • Identifikasi transaksi penting, terutama yang berpotensi berdampak pada kewajiban perpajakan, seperti transaksi antar-perusahaan (transfer pricing), pengeluaran modal, atau penjualan besar.
  • Memastikan kelengkapan data yang diajukan, baik dalam bentuk fisik maupun digital, sesuai dengan persyaratan peraturan yang berlaku.

Namun, perlu dicatat bahwa pada tahap tesis ini, auditor belum melakukan penilaian kritis terhadap validitas atau kesesuaian data tersebut dengan aturan perpajakan. Data tersebut masih berupa kebenaran awal yang disajikan oleh entitas, yang nantinya akan diuji lebih lanjut pada tahapan berikutnya.

2. Analisis dan Temuan Awal: Antitesis ("Da Ta Sa Wa La")

Setelah data awal terkumpul, auditor mulai memasuki tahap analisis yang diwakili oleh konsep antitesis dalam dialektika Hanacaraka, yaitu "Da Ta Sa Wa La". Dalam tahapan ini, auditor melakukan pemeriksaan kritis terhadap data yang telah diajukan, dengan membandingkannya dengan aturan dan regulasi perpajakan yang berlaku. Antitesis mencerminkan adanya pertentangan atau ketidakselarasan, yaitu ketika auditor menemukan ketidaksesuaian atau anomali dalam data yang telah disajikan oleh entitas yang diaudit.

Selama analisis ini, auditor mencari perbedaan antara data yang disajikan oleh perusahaan dengan persyaratan hukum yang diatur dalam peraturan perpajakan. Ini termasuk mengidentifikasi kesalahan dalam penghitungan pajak terutang, pengeluaran yang mungkin dianggap tidak sesuai, atau transaksi yang tidak dilaporkan dengan benar. Ketika auditor menemukan ketidaksesuaian ini, sering kali terjadi konflik antara interpretasi auditor terhadap aturan dan interpretasi yang diberikan oleh entitas yang diaudit.

Beberapa contoh dari potensi antitesis yang mungkin ditemukan adalah:

  • Penyimpangan dalam laporan penghasilan: Misalnya, jika auditor menemukan bahwa perusahaan mengklaim pengurangan pajak yang tidak sah, seperti penggunaan biaya operasional yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Transfer pricing: Jika ada transaksi antar-perusahaan yang tidak dilakukan sesuai dengan prinsip kewajaran pasar, auditor mungkin akan menyoroti hal ini sebagai antitesis terhadap kepatuhan perusahaan terhadap peraturan transfer pricing.
  • Kesalahan dalam pelaporan PPN: Misalnya, auditor mungkin menemukan bahwa pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikumpulkan dari pelanggan tidak dilaporkan dengan benar atau tidak dibayarkan kepada otoritas pajak.

Pada tahap ini, auditor harus mampu mengidentifikasi dengan jelas masalah-masalah yang ada, menentukan apakah ketidaksesuaian ini merupakan kesalahan administratif, ketidaktahuan dari perusahaan, atau bahkan indikasi adanya niat untuk menghindari pajak. Selain itu, auditor juga harus memastikan bahwa temuan-temuan ini didokumentasikan dengan jelas agar dapat dibahas lebih lanjut dalam dialog dengan entitas.

3. Proses Dialogis: Sintesis ("Pa Dha Ja Ya Nya")

Setelah auditor menemukan ketidaksesuaian dan mengajukan temuan awal, tahap berikutnya dalam dialektika Hanacaraka adalah "Pa Dha Ja Ya Nya", yang mencerminkan sintesis atau proses penyatuan antara tesis dan antitesis. Tahapan ini merupakan fase dialogis, di mana auditor dan entitas yang diaudit berusaha untuk mencari kesepakatan atau titik temu yang bisa diterima oleh kedua belah pihak.

Dialog antara auditor dan entitas yang diaudit adalah elemen kunci dalam tahapan ini. Proses ini bukan hanya tentang mengonfrontasi kesalahan atau ketidaksesuaian, tetapi lebih kepada upaya untuk memahami perspektif masing-masing. Auditor perlu membuka ruang untuk komunikasi terbuka, di mana perusahaan dapat memberikan klarifikasi tambahan terkait data yang mereka ajukan. Sebagai contoh, entitas yang diaudit mungkin memiliki penjelasan yang sah terkait laporan keuangan mereka, misalnya, adanya perubahan kebijakan atau situasi tertentu yang mempengaruhi pelaporan keuangan dan pajak mereka.

Beberapa aspek penting dari proses dialog ini meliputi:

  • Meminta klarifikasi tambahan: Auditor mungkin memerlukan bukti atau dokumen tambahan yang menjelaskan lebih rinci mengenai transaksi yang dipermasalahkan.
  • Melakukan diskusi interpretatif: Jika terdapat perbedaan dalam interpretasi aturan perpajakan, auditor dan entitas yang diaudit harus berdialog untuk mencapai pemahaman bersama. Misalnya, perusahaan mungkin memiliki interpretasi berbeda terhadap ketentuan perpajakan tertentu yang dapat diselesaikan melalui konsultasi dengan ahli atau pemahaman bersama.
  • Penyusunan rencana perbaikan: Jika ketidaksesuaian ditemukan, auditor dan perusahaan dapat menyusun rencana untuk memperbaiki kesalahan atau menyusun strategi kepatuhan yang lebih baik di masa depan.

Pada tahap ini, dialog yang konstruktif adalah kunci untuk mencapai kebenaran yang lebih mendalam. Proses ini tidak hanya melibatkan penyelesaian masalah yang ada, tetapi juga membuka ruang bagi perusahaan untuk memperbaiki sistem pelaporan mereka dan menghindari kesalahan serupa di masa mendatang. Sintesis yang dihasilkan dari dialog ini memungkinkan auditor dan perusahaan untuk bekerja sama menuju kepatuhan yang lebih baik.

Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo
Modul TB1_Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak, dok. Prof Apollo

4. Kesimpulan Akhir: "Ma Ga Ba Tha Nga"

Tahap terakhir dari proses dialektika Hanacaraka dalam audit pajak adalah "Ma Ga Ba Tha Nga", yang melambangkan kesimpulan atau akhir dari siklus. Dalam konteks audit pajak, ini adalah saat di mana auditor menyusun laporan akhir yang berisi temuan dari seluruh proses audit, termasuk rekomendasi perbaikan atau sanksi yang harus diterapkan.

Pada tahap ini, auditor menyusun laporan yang mencerminkan hasil dialog dan analisis yang telah dilakukan selama proses audit. Laporan tersebut harus mencerminkan kesimpulan yang objektif dan berdasarkan fakta, serta mempertimbangkan semua penjelasan dan bukti yang telah disampaikan oleh entitas yang diaudit. Kesimpulan ini bisa berupa:

  • Kepatuhan penuh: Jika entitas terbukti mematuhi semua aturan perpajakan, auditor akan menyusun laporan yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran atau anomali yang ditemukan.
  • Rekomendasi perbaikan: Jika ditemukan kesalahan administratif atau ketidaksesuaian yang sifatnya tidak serius, auditor mungkin memberikan rekomendasi perbaikan untuk meningkatkan kepatuhan perusahaan di masa depan.
  • Sanksi atau denda: Jika ditemukan pelanggaran serius, auditor dapat merekomendasikan penerapan sanksi atau denda, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Daftar Pustaka

  1. Apollo. (2012). Modul TB1 Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak.
  2. Dilthey, Wilhelm. (1996). Hermeneutics and the Study of History. Princeton: Princeton University Press.
  3. Sawyer, Lawrence. (2014). Internal Auditing: A Guide for the Modern Auditor. New York: McGraw-Hill.
  4. Hegel, Georg W.F. (2010). The Phenomenology of Spirit. New York: Oxford University Press.
  5. Satyanagara, R. (2018). Filsafat Jawa dan Relevansinya dalam Dunia Modern. Jakarta: Pustaka Nusantara.
  6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun