Mohon tunggu...
Agung Purnomo
Agung Purnomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Insuri Ponorogo

Halo, Ayo menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikologi Ibnu Khaldun: Cerpen

15 Oktober 2024   02:53 Diperbarui: 15 Oktober 2024   03:31 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, jendela kelas dibuka oleh petugas piket. Hembusan angin melewati ventilasi dan jendela yang terbuka. Berputar diruang kelas menghasilkan udara yang segar. Dengan hirupan yang serius membuat diri ini terasa nyaman didalam kelas. Setiap hembusan membuat pikiran segar bak bangun pagi dihari Minggu tanpa ada rasa terganggu.

Raz masih fokus pada hirupan nafasnya, jam sudah menunjukkan pukul 06.55, artinya lima menit lagi masuk. Raz mulai tersadar dari hipnotis hembusan angin yang membuatnya terasa nyaman sekali tak memikirkan apa-apa. Sedikit demi sedikit ia mulai sadar dari kenyamanan hembusan angin itu.

"Inikan hari Senin ya, aku akan presentasi hari ini, sendiri lagi" Pikir raz dengan cemas dan deg-degan.

Aku sudah paham tentang teori psikologi ini, tapi bagaimana nanti aku mempresentasikan, dari mana ya aku berkata nanti, udahlah jalani aja. Kan ada teksnya tinggal baca kata demi kata.

"Anak-anak Minggu depan presentasi tanpa baca teks, maksudnya hanya dibaca saat mau baca poin apa, tapi tidak boleh dibaca keseluruhan," Raz teringat Pesan Bu Emi Minggu lalu.

Raz masih dengan rasa cemasnya, masalahnya ia baru teringat pagi ini bahwa tidak boleh membaca teks saat presentasi. Jam sudah menunjukkan pukul 7.00, Semua murid sudah siap menyambut Bu Emi sebagai guru Psikologi yang paling ramah di kelas 11 SMA tersebut.

"Assalamualaikum, Selamat pagi anak-anak. Sekarang waktunya saya ya?," Salam dan tanya Bu Emi kepada semua murid.

"Waalaikumsalam wr wb," Jawab satu kelas.

Dengan kecemasan itu, Raz berusaha untuk tenang, dan berusaha untuk lebih percaya diri. Karena dia tau Bu Emi guru yang ramah disekolah ini. Pasti dimaafkan ketika ia minta maaf nanti. Tak menunggu lama Bu Emi langsung memanggil Raz untuk maju kedepan dan mempresentasikan tugasnya.

"Aku bisa, bismillah...," Gumam Raz dengan penuh keyakinan.

Iya terimakasih Bu, Raz mulai mempresentasikan tugasnya itu ia membacakan teksnya.

Ibnu Sina, Al-Ghazali, Sahl Al-Baihaki, Ibnu Khaldun.

Disini saya akan menjelaskan psikologi dari Ibnu Khaldun

 Anda harus tau, beliau-beliau adalah ilmuwan-ilmuwan muslim.

"Ibn Khaldun membagi akal menjadi empat:

akal yang membedakan, akal yang bereksperimen, akal yang berspekulasi, dan akal yang melampaui. Karena berpikir adalah anugerah yang hanya dimiliki manusia, sesuatu yang menjadikan kita istimewa di tengah ciptaan."

Hening sesaat, ia melanjutkan,

"Firah---kecenderungan bawaan dari Sang Pencipta---menjadi cermin bagi jiwa kita. Setiap manusia, setiap masyarakat, dan bahkan setiap peradaban diukur dengan Firah ini. Ibn Khaldun percaya, dengan hidup seimbang mengikuti aturan Ilahi, kita menemukan harmoni dalam kesederhanaan, seperti mereka yang hidup selaras dengan alam."

Suara itu mengalun, menciptakan suasana tenang dalam kelas.

"Lingkungan, bagi Ibn Khaldun, membentuk karakter kita. Dunia yang mengelilingi kita, ibarat air yang mengikis bebatuan, perlahan-lahan mengukir siapa diri kita. Ketidakadilan dan agresi, mereka lahir dari sisi hewani kita. Namun, kita diberi akal dan Firah untuk melawan itu."

Ia berhenti, menatap teman-temannya, sebelum melanjutkan dengan lebih halus,

"Bahasa, kata Ibn Khaldun, adalah kunci ke dalam pikiran. Kata-kata yang berulang membentuk pemahaman, seperti tetes air yang terus-menerus jatuh ke batu, menciptakan pola yang dalam. Bahasa tak hanya alat, tapi sarana untuk memahami dan diingat."

Dan akhirnya, ia menutup dengan perenungan, "Seperti halnya peradaban, hidup juga berputar. Segala yang lahir, tumbuh, mencapai puncaknya, lalu perlahan tenggelam kembali. Kekuasaan, seperti manusia, melalui siklus---lahir, dewasa, lalu mati, tertelan oleh waktu."

Selesai sudah Raz membacakan teksnya, sudah mulai lega dirinya.

"Iya Raz, silahkan duduk kembali, tepuk tangan untuk Raz," Raz kembali ke tempat duduk disambut dengan tepuk tangan meriah dari teman temannya. 

"Alhamdulillah, akhirnya sudah....," Pikir Raz dengan tenang.

Raz lega sekali setelah presentasi, tapi lain itu ia juga sangat serius membacakan teksnya tadi, walaupun ada beberapa tokoh yang ia sebut, ia hanya menjelaskan Ibnu Khaldun saja. Raz berprinsip minimal teman-teman satu kelas tau bahwa ilmuwan muslim tersebut juga menyumbangkan pemikirannya dalam ilmu psikologi. Karena sejauh ini dalam buku sekolah hanya seputar Sigmund Freud dan Carl Jung, Raz juga ingin memperkenalkan ilmuwan muslim dalam bidang psikologi. Agar ada perbandingan apa saja pemikiran dari setiap tokoh itu dan bagaimana kesinambungannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun