Di sebuah negeri yang gemar bermimpi jadi adidaya teknologi, berdiri seorang Menteri Pengembangan Teknologi Canggih yang terkenal "serba bisa". Namanya Pak Sabodo. Orang-orang di kantornya lebih suka menyebutnya "Raja Sabodo" - bukan karena bijaksana, tapi karena titahnya yang suka tiba-tiba, dan ajaibnya lebih sering bikin geger daripada solusi.Â
Kisah Bermula di Kerajaan WiFi
Pada suatu pagi, Raja Sabodo murka. Penyebabnya? WiFi di istananya - eh, maksudnya rumah dinasnya - bermasalah. Kecepatannya kalah jauh dibanding kuota anak magang. Katanya, "Bagaimana mungkin seorang Menteri Teknologi Canggih tak punya internet cepat? Harga diri bangsa dipertaruhkan!"
Seisi kantor gempar. Vendor dipanggil. Tukang kabel berlarian seperti gladiator, memasang WiFi baru. Tapi, tak sempat uji coba, Pak Menteri langsung menjajal.
"HANYA 13 Mbps?! Ini penghinaan intelektual!" teriaknya. Tukang kabel pucat pasi. "Maaf, Pak. Itu cuma sementara."
"Terserah sementara atau menunggu kiamat, saya pecat kalian semua!"
Rumor ini segera tersebar. Pegawai mulai membandingkan menteri pemarah ini dengan menteri-menteri lainnya, Mereka herman, eh heran: "Ini kantor kementerian atau reality show?"
Air Mata di Kerajaan Air
Belum habis drama WiFi, Raja Sabodo kembali naik pitam gara-gara air di rumah dinas. Kerannya macet, shower-nya cuma menetes. Sang raja kehausan!
Ketika tukang ledeng tiba, ia diberi sambutan layaknya pahlawan perang. Tapi bukannya ucapan terima kasih, mereka justru disambut dengan tamparan metafora (dan mungkin literal). "Kenapa airnya begini?! Kalian mau bikin saya mandi debu?"
Para pegawai mulai bergunjing, "Mungkin kerannya protes, Pak Menteri kan jarang basah."
Rakyat yang Tertindas
Tak cukup dengan WiFi dan air, Raja Sabodo juga dikenal gemar merombak struktur kerajaan. Pegawai dipecat seperti mengganti baterai remote. Kabarnya, istrinya turut menjadi "penasihat kebijakan".
"Bapak mau jadi pemimpin atau host acara masak? Kok semua disetir?" celetuk salah satu pegawai, tentu saja di grup anonim.
Yang paling ironis adalah ketika seorang pegawai senior, Bu Nian, dipecat hanya karena tidak tahu cara mengganti meja dengan level "sesuai kehormatan istri menteri" yang konon cemburuan. "Meja ini terlalu rendah, seperti merendahkan martabat keluarga saya!" ujar Ibu Menteri.
Bu Nian pun bergumam, "Saya pegawai negeri, bukan konsultan interior..."
 "Attitude ibu menteri ini juga disayangkan. Kalau bicara itu kasar. Coba kalau bicara halus, kan semua jadi mulus dan bagus", ungkapnya ke wartawan yang bersemangat mengejar isu ini.
Alhasil, tak kuat menahan beban kehidupan, mungkin juga beban utang, dan beban kerjaan, maka mereka pun kompak demo berjamaah. Lalu, bertebaranlah banyak ucapan. Ucapannya berupa karangan bunga dan spanduk terpasang di pagar depan Kantor Menteri Teknologi Kecanggihan. "'Pak Presiden, Selamatkan Kami dari Ketidakbahagiaan. Kami butuh Menteri Ramah Bukan Menteri Pemarah, Suka Berkelakar dan Hebat, Bukan Suka Main Tampar dan Pecat'
Terbentang pula dua spanduk bertuliskan: 'Kami Pegawai Hebat, Dibayar oleh Negara Kuat, Bekerja untuk Negara Hebat, Bukan Selalu Diancam dan Main Pecat' dan 'Institusi Negara Bukan Selera Seperti Emosi Jiwa'.
Massa yang hadir menyuarakan keluhan terkait dugaan arogansi Menteri Rasa Raja dan keluarganya yang dianggap mencampuri urusan kementerian.
Filosofi Air dan WiFi
Di tengah kekacauan, seorang pegawai muda berdiri di depan spanduk unjuk rasa dan bergumam, "Air dan WiFi ini cuma simbol, kan? Simbol pemimpin yang haus pujian, tapi tak mau mendengar."
Temannya menimpali, "Mungkin kita butuh Menteri Teknologi yang paham teknologi manusia. Bukan cuma kabel wifi dan keran."
Aksi itu ditutup dengan poster sindiran, "Bapak Menteri, rakyat ini bukan router yang bisa dimatikan sesuka hati."
 "Kami butuh adanya gebrakan yang hingga mendekati 100 hari ini belum ada sama sekali, bukan marah-marahan dan pecat-pecatan terus sepanjang hari. Bapak Menteri pasti cape, apalagi kami!", kata ajudan pembantu wakil asisten paguyuban unjuk rasa di lokasi.
Emak-emak pegawai senior disana pun mengingatkan para juniornya setelah aksi demo selesai. Ia berkata penuh bijak, "Bukan gelar yang menentukan makna hidupmu, tapi sejauh mana ilmumu mampu mengubah dunia menjadi lebih baik."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI