"Ketika kita memuliakan guru ngaji dan ulama, sejatinya kita sedang menanam benih peradaban yang penuh keberkahan dan kejayaan untuk generasi mendatang."
Potret Miris Guru Ngaji Masa Kini
Di sudut kota, ada seorang guru ngaji berpakaian sederhana melangkahkan kaki ke rumah tetangganya yang besar untuk mengajarkan dua anak mengaji. Beberapa hari dalam sepekan ia rutin hadir mengajar, meluangkan waktu dan tenaga. Guru ngaji itu menerima upah apa adanya, padahal si pengundang bukanlah orang tak mampu. Sebenarnya, ia bisa memberi lebih dari itu. Rumah megah, bertingkat dan kemapanannya pun justru menggambarkan sebaliknya.
Di tempat lain, ada keluarga yang punya mobil bagus, juga rumahnya yang megah bertingkat, ini lebih parah lagi. Ia menyuruh anak perempuannya ke guru ngaji, tanpa ada bahasa apa pun sekedar untuk menitipkan anaknya ke guru ngajinya. Di rumah yang sederhana itu ada 30-an lebih anak TK & SD yang sebaya semangat ngaji bersama. Anaknya itu dititipkan begitu saja tanpa bayaran sama sekali.
Begitu juga saat masuk TK berpendidikan agama pun sama, kadang bayar iuran bulanan, kadang tidak. Anak itu pun disuruh ikut belajar di TK ama orang tuanya, tanpa daftar sama sekali. Gaji guru TK itu pun hanya Rp 200 ribu satu bulan, sebuah angka yang tak senilai dengan ilmu, waktu, dan pengorbanan tenaga sang guru.
Kisah ini hanyalah secuil dari kenyataan yang dihadapi banyak guru ngaji, guru TK agama di negeri ini. Sosok-sosok yang seharusnya dimuliakan justru kerap dipandang sebelah mata, baik oleh individu maupun institusi.
Ketika Cahaya Ilmu Dipertukarkan dengan KetidakadilanÂ
Di sebuah sudut kota yang sepi, tampak seorang guru ngaji melangkah dengan tenang. Pakaian sederhana yang membalut tubuhnya tidak menyembunyikan pancaran keikhlasan di wajahnya. Ia menuju rumah tetangganya yang megah, bertingkat, dengan taman luas yang tertata rapi. Di sana, ia mengajarkan anak-anak mengaji, menanamkan huruf demi huruf Al-Qur'an ke dalam hati mereka yang polos. Namun, apa yang ia terima? Upah yang nyaris tak berarti, sekadar cukup untuk membeli segenggam beras.Â
Di tempat lain, ada keluarga yang hidupnya penuh gemerlap. Mobil keluaran terbaru terparkir di garasi, rumahnya berdiri megah seperti istana kecil. Namun ketika anak perempuan mereka dititipkan kepada guru ngaji, tak ada sepatah kata terucap untuk sekadar berterima kasih, apalagi memberikan penghargaan. Anak itu dibiarkan ikut belajar tanpa bayaran, di tengah belasan murid lainnya yang juga datang dari keluarga sederhana.Â
Kisah serupa terulang di sebuah taman kanak-kanak berbasis agama. Para guru dengan sabar mengajarkan nilai-nilai Islam kepada anak-anak kecil, mengorbankan waktu dan tenaga mereka. Gaji yang diterima hanya Rp 200 ribu per bulan, jumlah yang bahkan tak cukup untuk membayar sewa rumah kecil di pinggiran kota. Ironisnya, beberapa orang tua bahkan menghindari membayar iuran bulanan, seolah keberadaan guru adalah tanggung jawab semesta, bukan tanggung jawab bersama.Â
Kisah-kisah ini bukanlah dongeng, melainkan realitas pahit yang dialami oleh para guru ngaji dan pendidik agama di negeri ini. Sosok-sosok yang sejatinya membawa lentera peradaban justru sering terpinggirkan, dihargai seadanya, bahkan diabaikan.Â
Bagaimana mungkin ilmu yang semestinya menjadi warisan paling berharga dihargai dengan ketidakadilan? Akankah kita tetap diam saat pilar-pilar pengetahuan dan moralitas dibiarkan rapuh oleh perlakuan kita sendiri?Â
Pelajaran dari Kejayaan Islam
Mari kembali ke masa keemasan Islam di bawah kekhalifahan Abbasiyah. Peradaban yang saat itu memimpin dunia tak lepas dari penghormatan besar terhadap para ulama dan guru ngaji. Dalam kitab an-Nafaqt wa Idratuh f ad-Daulah al-'Abbsiyyah karya Dr. Dhaifullah az-Zahrniy, tercatat bahwa pengajar di masa itu mendapat gaji sebesar 1000 dinar per tahun (setara 3,9 miliar rupiah per tahun atau sekitar 325 juta rupiah per bulan).
Guru ngaji yang lebih mendalami ilmu Al-Qur'an menerima hingga 2000 dinar per tahun (sekitar 650 juta rupiah per bulan). Bahkan ulama ahli, yang menguasai banyak cabang ilmu agama, bisa mendapatkan 4000 dinar per tahun (setara 1,3 miliar rupiah per bulan). Khalifah Harun ar-Rasyid pun pernah memberikan dana khusus sebesar 3000 dinar kepada Imam Malik untuk membeli rumah.
Penghargaan finansial ini tidak hanya mencukupi kebutuhan mereka, tetapi juga mencerminkan penghormatan yang mendalam kepada ilmu dan dakwah.
Mengapa Penghargaan Itu Penting?
Kesejahteraan guru ngaji dan ulama adalah fondasi bagi kemajuan ilmu dan peradaban. Ketika mereka diberi penghargaan yang layak, mereka dapat fokus mendidik generasi umat tanpa terganggu oleh tekanan ekonomi. Dengan demikian, mereka mampu melahirkan individu-individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kokoh dalam keimanan.
Bahkan, kesejahteraan ini menjadi pilar penting dalam membangun keikhlasan. Ikhlas bukan berarti mengabaikan hak-hak materiil. Sebaliknya, kesejahteraan adalah alat agar mereka bisa mengabdi sepenuhnya kepada dakwah tanpa beban duniawi yang berat.
Pentingnya Kolaborasi: Tanggung Jawab Bersama untuk Memuliakan Guru NgajiÂ
Jika kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu sepenuhnya memenuhi kewajiban untuk memuliakan para guru ngaji, maka tanggung jawab tersebut harus diemban bersama oleh seluruh elemen masyarakat. Sinergi ini bukan hanya diperlukan, tetapi menjadi kunci utama untuk memastikan keberlangsungan dakwah Islam yang berkesinambungan. Berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan:Â
1. Institusi PendidikanÂ
Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun nonformal, harus menempatkan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga nilai-nilai moral dan agama. Memberikan mereka insentif yang layak adalah bentuk penghormatan sekaligus investasi bagi masa depan umat.Â
2. Takmir MasjidÂ
Para imam, khatib, dan muadzin yang menjadi tulang punggung kegiatan keagamaan di masjid juga layak mendapatkan insentif yang memadai. Takmir masjid harus mengelola dana umat dengan lebih bijak, memastikan kesejahteraan mereka yang setiap hari melayani jamaah dan menjaga syiar Islam tetap hidup.Â
3. Orang Kaya dan DermawanÂ
Para dermawan yang Allah titipkan harta lebih memiliki peluang besar untuk menciptakan perubahan. Menjadikan kesejahteraan guru ngaji sebagai salah satu pos utama infak dan sedekah adalah langkah strategis untuk mendukung mereka yang berada di garis terdepan dakwah. Dengan cara ini, para guru ngaji dapat lebih fokus dalam tugas mulia mereka tanpa terbebani oleh kebutuhan materi yang mendesak.Â
Sinergi ini tidak hanya akan membawa perubahan positif bagi kesejahteraan guru ngaji dan ulama, tetapi juga menciptakan sistem yang kokoh untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ketika semua pihak bergerak bersama, dakwah Islam akan menjadi lebih kuat, terorganisir, dan mampu menghadapi tantangan zaman.Â
Mari Kita Menjadi Bagian dari Solusi
Setiap individu memiliki peran untuk memuliakan guru ngaji dan ulama. Mulailah dari lingkungan terdekat. Hargai mereka yang mendidik anak-anak kita dengan memberi upah yang pantas. Dorong komunitas untuk berkontribusi dalam mendukung kesejahteraan para pengajar agama.
Kita sedang membangun peradaban, dan peradaban tidak bisa berdiri tanpa pondasi ilmu yang kokoh. Guru ngaji dan ulama adalah tiangnya. Memuliakan mereka berarti memuliakan ilmu, dan memuliakan ilmu adalah jalan menuju kejayaan umat.
Kesimpulan
Saat kita mampu menghargai dan mensejahterakan guru ngaji serta ulama, sesungguhnya kita sedang menata masa depan yang penuh keberkahan. Sejarah telah membuktikan bahwa penghormatan terhadap ilmu dan pengajarnya adalah kunci kejayaan peradaban. Kini saatnya kita menjadi bagian dari perubahan itu, demi mewujudkan masyarakat yang berilmu, beriman, dan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI