Mereka mungkin tidak bisa berlari di lapangan hijau seperti anak-anak di pedesaan, tidak bisa bermain bola di tanah yang lapang.
Namun di sini, di jalan-jalan yang penuh dengan kendaraan dan kebisingan, mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Dunia di mana klakson bus menjadi musik, dan trotoar yang sempit menjadi panggung kegembiraan.
Fenomena "Om Telolet Om" bukan sekadar tren yang melintasi waktu. Ia adalah simbol kebahagiaan yang sederhana, tercipta di tengah kesibukan kota, membawa senyum dan tawa bagi mereka yang masih tahu cara menikmati keajaiban kecil dalam kehidupan.
Seperti burung-burung yang berkicau di pagi hari, begitu juga anak-anak ini dengan keriangan mereka yang polos, menyapa bus-bus yang melintas dengan permintaan tulus: "Om Telolet Om!"
Dan, ketika suara klakson yang diharapkan itu terdengar, kegembiraan mereka memecah langit, membawa kehangatan di tengah dinginnya rutinitas perkotaan.
Dalam keheningan malam yang mulai merangkak, gema telolet itu tetap hidup di hati mereka - menjadi melodi kebahagiaan yang akan terus diingat, meski mungkin bagi sebagian orang hanyalah suara bising yang segera terlupakan.
Namun bagi mereka, anak-anak kota yang penuh impian, itu adalah suara yang menghidupkan, melambangkan kebebasan di tengah keterbatasan.
Om Telolet Om, sebuah ironi kebahagiaan di tengah kota yang penuh sesak, namun menjadi saksi bisu akan tawa anak-anak yang tak pernah padam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H