"Di tengah gemuruh kota yang tak pernah hening, anak-anak menemukan kebahagiaan dalam hal sederhana. Sebuah klakson bus yang menjadi irama kebebasan, melambangkan harapan yang tetap hidup di tengah keterbatasan.
Terkadang, kebahagiaan tidak datang dari ruang yang luas, melainkan dari suara yang merangkul tawa mereka. Begitulah hidup, selalu ada celah untuk menemukan makna di balik kesederhanaan."
Di antara gemuruh mesin-mesin kota yang tak pernah tidur, di sela-sela riuh rendah suara klakson dan hiruk-pikuk kendaraan yang berlomba dengan waktu, ada sekumpulan anak-anak yang mengukir senyum mereka di pinggir trotoar.
Mereka, anak-anak kota yang tumbuh tanpa lapangan hijau untuk menendang bola. Anak-anak itu hanya punya jalan-jalan sempit dan trotoar yang tak jarang dihuni oleh pedagang kaki lima dan motor ojek online.
Di sinilah, di tengah kesibukan kota yang tak pernah peduli akan ruang bermain mereka, terdengar gelak tawa yang riang.
Mereka berlari, menyusuri jalan dengan mata yang berbinar, menanti sesuatu yang sederhana namun penuh keajaiban --bunyi klakson bus yang mereka sebut dengan penuh semangat: "Om Telolet Om!"
Matahari sore yang mulai tenggelam di balik gedung-gedung pencakar langit seolah menjadi saksi bisu kegembiraan yang terlukis di wajah-wajah kecil itu.
Dengan tangan-tangan kecil mereka yang melambai-lambai, berharap para sopir bus akan membalas dengan sebuah irama klakson yang tak lazim namun begitu memikat.
Klakson yang telah dimodifikasi menjadi sebuah melodi, menciptakan orkestra unik yang hanya mereka, para anak-anak kota ini, yang benar-benar bisa menghargai.
Di saat yang lain berlomba dengan waktu, sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas harian, mereka menemukan kesederhanaan dalam sebuah harapan kecil: mendengar bunyi telolet.
Bagi orang dewasa, mungkin itu hanya suara bising yang tak berarti. Namun bagi anak-anak ini, itu adalah nada kebahagiaan, yang memberikan warna dalam dunia mereka yang seringkali abu-abu.
Mereka mungkin tidak bisa berlari di lapangan hijau seperti anak-anak di pedesaan, tidak bisa bermain bola di tanah yang lapang.
Namun di sini, di jalan-jalan yang penuh dengan kendaraan dan kebisingan, mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Dunia di mana klakson bus menjadi musik, dan trotoar yang sempit menjadi panggung kegembiraan.
Fenomena "Om Telolet Om" bukan sekadar tren yang melintasi waktu. Ia adalah simbol kebahagiaan yang sederhana, tercipta di tengah kesibukan kota, membawa senyum dan tawa bagi mereka yang masih tahu cara menikmati keajaiban kecil dalam kehidupan.
Seperti burung-burung yang berkicau di pagi hari, begitu juga anak-anak ini dengan keriangan mereka yang polos, menyapa bus-bus yang melintas dengan permintaan tulus: "Om Telolet Om!"
Dan, ketika suara klakson yang diharapkan itu terdengar, kegembiraan mereka memecah langit, membawa kehangatan di tengah dinginnya rutinitas perkotaan.
Dalam keheningan malam yang mulai merangkak, gema telolet itu tetap hidup di hati mereka - menjadi melodi kebahagiaan yang akan terus diingat, meski mungkin bagi sebagian orang hanyalah suara bising yang segera terlupakan.
Namun bagi mereka, anak-anak kota yang penuh impian, itu adalah suara yang menghidupkan, melambangkan kebebasan di tengah keterbatasan.
Om Telolet Om, sebuah ironi kebahagiaan di tengah kota yang penuh sesak, namun menjadi saksi bisu akan tawa anak-anak yang tak pernah padam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H