Asalnya ia ikut saat maghrib saja. Lalu ikut juga Isya. Melihat pemandangan itu, belasan anak-anak yang salat di masjid suka berebut ingin memegang dan menggendong Teuteung. Berebut dan bergantian dari satu tangan ke tangan lain, dari satu pelukan ke pelukan lain.
Sekarang, karena banyak yang suka padanya, Teungteung jadi kian rajin ke masjid. Salat subuh dan ashar pun ke masjid. Bahkan salat Jumat pun ke mesjid pesantren pun dia ikut. Dia seperti menikmati salat jumat, karena selama datang dan pergi dia khusus berdiam diri di sisi tangga masjid.
Sekilas, kucing ini tak ada indah-indahnya. Semuanya berwarna hitam "lestreng". Namun, anak-anak tak melihat itu. Anak-anak hanya suka kehadiran dan kelincahan kucing hitam ini.
Terbukti, saat dia tak ikut salat Isya di masjid, anak-anak banyak yang tanya. "Teungteung, kemana..?". "Kenapa Teungteung kenapa ngak ikut?". "Bawa atuh Teungteungnya, biar rame disini".
Yap, perlahan dan pasti, Teungteung jadi sosok yang dibutuhkan dan dirindukan.
Sesaat, saya pun sempat terdiam. Dalam dunia di mana penampilan sering kali diutamakan, kisah tentang Teuteung, si kucing hitam lestreng, memberikan pelajaran berharga tentang penerimaan dan keindahan yang sesungguhnya.
Melalui kasih sayang yang diberikan padanya, Teuteung menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga dan komunitasnya, membawa kegembiraan di setiap langkahnya.
Kisahnya mengajarkan kita untuk melihat melebihi penampilan fisik dan menghargai keunikannya masing-masing.
Dengan membuka hati kita untuk menerima keberagaman dan menghargai esensi sejati setiap sosok, kita dapat menemukan kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan ini. Percayalah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H