Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengatasi Kekacauan Data Pemilu: Strategi Risk Management yang Efektif

16 Februari 2024   08:57 Diperbarui: 16 Februari 2024   09:03 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pemahaman risiko adalah kunci untuk menjaga integritas pemilihan umum dan membangun kepercayaan publik."

Dalam suasana pasca-pemilu yang dipenuhi dengan kekisruhan dan protes, penting bagi kita untuk memahami secara lebih mendalam tentang permasalahan yang muncul, serta solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasinya. Kasus terbaru terkait perbedaan angka di Formulir C1 dan laman web penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) memunculkan pertanyaan serius tentang keandalan sistem yang digunakan dalam proses pemilu. Meskipun KPU menegaskan bahwa tidak ada niat manipulasi suara, kekisruhan ini menyoroti kelemahan dalam manajemen data dan risiko yang melekat dalam proses pemilihan umum.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam ke dalam permasalahan ini, mengambil perspektif risk management untuk memahami akar penyebab kekisruhan data dalam pemilu. Dengan memahami risiko yang terlibat dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelolanya, kita dapat mencari solusi yang tepat untuk mencegah kekisruhan serupa di masa depan. Mari kita menjelajahi permasalahan ini secara lebih mendalam untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas pemilihan umum dan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan integritasnya.

Latar Belakang Kekisruhan Data

Pada Pemilu 2024, protes dan kekisruhan muncul setelah laman penghitungan suara sementara KPU menunjukkan konversi formulir C1-Plano dengan jumlah yang tidak akurat. Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, menegaskan bahwa kekisruhan tersebut tidak disebabkan oleh niat manipulasi suara, melainkan karena formulir C1 diunggah apa adanya oleh anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagaimana diwartakan oleh Tempo (nasional.tempo.co, 15/02/24). Meskipun demikian, kekacauan dalam konversi data C1 menjadi perolehan suara menimbulkan protes di media sosial dan pesan pribadi WhatsApp.

Hasyim Asy'ari menjelaskan bahwa kesalahan konversi data C1 bukanlah kesalahan ketik, tetapi disebabkan oleh kesalahan baca sistem dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Dalam upaya mengoreksi kesalahan tersebut, KPU memastikan bahwa data perolehan suara yang salah konversi akan dikoreksi dengan merujuk kepada unggahan C1 yang diunggah dalam Sirekap.

Per 15 Februari 2024, terdapat 2.325 TPS dengan jumlah suara yang salah dikonversi, dari total 358.775 TPS yang telah mengunggah data dalam Sirekap (nasional.kompas.com, 15/02/24). Meskipun persentasenya tergolong kecil, kekisruhan ini menyoroti kelemahan dalam sistem informasi yang digunakan dalam pemilihan umum, menimbulkan pertanyaan serius tentang keandalan proses perhitungan suara dan risiko yang terkait dalam penggunaan teknologi dalam pemilihan umum.

Risiko Kekisruhan dalam Pemilu

Pemilu merupakan momen penting dalam sebuah negara demokratis, namun risiko kekisruhan dalam prosesnya dapat mengancam integritas dan legitimasi hasilnya. Dalam konteks Pemilu 2024, terdapat beberapa risiko yang muncul terkait kekisruhan data, yang perlu dipahami secara mendalam:

1. Ketidakpastian keandalan sistem informasi. Penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai alat bantu dalam menghitung dan merangkum hasil pemungutan suara menimbulkan keraguan terhadap keandalannya. Kekisruhan data dapat muncul akibat kelemahan dalam sistem ini, mengancam kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.

2. Potensi kecurangan. Risiko kecurangan dalam bentuk manipulasi data atau pelanggaran prosedur dapat muncul akibat kelemahan dalam sistem informasi pemilu. Kekacauan dalam konversi data C1 dan ketidakpastian dalam penggunaan Sirekap meningkatkan kerentanan terhadap praktik kecurangan yang dapat mengganggu integritas hasil pemilu.

3. Keterbatasan teknologi dan konektivitas. Masalah teknis seperti keterbatasan konektivitas internet di beberapa daerah atau kesalahan dalam penggunaan perangkat lunak dapat mengganggu proses pemungutan suara dan pelaporan hasilnya. Hal ini dapat menyebabkan kekisruhan dalam pengumpulan dan tabulasi data, mempengaruhi akurasi dan kepercayaan terhadap hasil pemilu.

4. Rentan terhadap serangan siber. Sistem informasi pemilu rentan terhadap serangan siber yang dapat mengancam keamanan data dan integritas proses pemilihan. Serangan seperti Distributed Denial of Service (DDoS) dapat menyebabkan lumpuhnya server pemilu, mengganggu proses pelaporan hasil suara, dan memicu kekisruhan dalam proses pemilihan. Website Komisi Pemilihan Umum (KPU) banyak diberitakan sempat down. Itu terjadi pada hari pemungutan suara Pemilu 2024 (kabar24.bisnis.com, 14/02/2024)

Melihat risiko-risiko ini, penting bagi penyelenggara pemilu untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam mengelola risiko dan memastikan integritas serta kepercayaan dalam proses pemilihan umum. Dengan memahami risiko yang terlibat dan menerapkan tindakan yang sesuai, diharapkan pemilu dapat dilaksanakan dengan lebih transparan, akurat, dan aman dari praktik-praktik yang meragukan.

Lemahnya Langkah-Langkah dalam Risk Management

Lemahnya langah-langkah risk manajemen sejak awal menyebabkan sulitnya untuk mengatasi risiko kekisruhan dalam pemrosesan data pemilu. Padahal, idealnya, KPU jauh-jauh hari sebelumnya sudah dapat memastikan integritas prosesnya. Yaitu langkah-langkah penerapa risk management berikut dapat ini:

1. Pendidikan dan pelatihan Petugas TPS. Pastikan petugas TPS mendapatkan pelatihan yang memadai tentang proses pemungutan suara dan pelaporan hasilnya. Mereka harus memahami prosedur dengan tepat untuk mengurangi risiko kesalahan dalam prosesnya.

2. Implementasikan sistem pelaporan elektronik. Terapkan sistem pelaporan elektronik yang terintegrasi di setiap TPS. Sistem ini harus didesain untuk memastikan keamanan data dan akurasi pelaporan, sehingga meminimalkan risiko manipulasi atau kesalahan.

3. Pengawasan saksi partai dan pengamat independen. Pastikan setiap partai politik memiliki saksi di setiap TPS dan fasilitas bagi pengamat independen untuk memantau proses pemilihan dan pelaporan. Pengawasan eksternal dapat membantu mengurangi risiko kecurangan atau manipulasi data.

4. Verifikasi data di tingkat desa/kelurahan. Setelah pemungutan suara selesai, lakukan verifikasi hasil pemilihan di tingkat desa/kelurahan untuk memastikan keakuratan data sebelum dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi. Langkah ini penting untuk mencegah kesalahan atau manipulasi data sejak awal.

5. Pemanfaatan teknologi verifikasi. Gunakan teknologi seperti pemindaian QR code atau sistem verifikasi otomatis lainnya untuk memverifikasi data yang dilaporkan dari TPS. Teknologi ini dapat membantu memastikan integritas dan keakuratan data dengan lebih efisien.

6. Transparansi dan akses publik. Pastikan hasil pemilihan umum di setiap tingkat dapat diakses oleh publik melalui situs web resmi dan mekanisme transparansi lainnya. Transparansi merupakan kunci untuk membangun kepercayaan publik dan meminimalkan spekulasi terhadap integritas proses pemilihan.

7. Audit independen. Lakukan audit independen terhadap proses pemilihan dan pelaporan hasil untuk memastikan kebenaran dan integritasnya. Audit ini harus dilakukan oleh lembaga independen dan kredibel untuk menjamin keadilan dan akuntabilitas dalam proses pemilihan.

8. Implementasikan sistem pelaporan berjenjang. Terapkan sistem pelaporan berjenjang yang memungkinkan verifikasi dan validasi data dari tingkat TPS hingga tingkat propinsi. Dengan demikian, kesalahan atau manipulasi data dapat dideteksi dan diatasi dengan lebih efektif.

9. Komitmen pemerintah dan lembaga terkait. Pemerintah dan lembaga terkait harus memiliki komitmen untuk memastikan integritas dan akurasi proses pemilihan umum serta pelaporannya. Kolaborasi antara berbagai lembaga dan pihak terkait sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menjamin keberhasilan pemilihan.

10. Sanksi terhadap pelanggaran. Tetapkan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran dalam proses pemilihan dan pelaporan hasil untuk mencegah kecurangan dan memastikan kepatuhan. Sanksi yang jelas dan tegas dapat menjadi deteren untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan integritas pemilihan.

Dengan mengikuti langkah-langkah risk management ini, diharapkan pemilihan umum dapat dilaksanakan dengan lebih baik, terpercaya, dan bebas dari kekisruhan yang dapat mengganggu integritas dan legitimasi hasilnya.

Namun sayang, semua langkah-langkah diatas sepertinya tidak dilakukan dengan sempurna. Akibatnya, kini KPU dalam kondisi krisis dan menuai banyak keluhan yang luas.

Langkah-Langkah Taktis dan Solutif

Dalam kondisi krisis dan banyak keluhan terkait kekacauan data pemilu, langkah-langkah nyata, efektif, dan signifikan dalam risk management dapat mencakup:

1. Kawal dari sistem internal tim pengusung. Perolehan suara calon harus dikawal dari sistem internal sendiri yang sudah disiapkan sebelumnya. Mulai dari tingkat daerah hingga nasional, sehingga command center bisa berfokus untuk memantau pergerakan perolehan suara dari data yang ada di sistem. Jadi tidak terpengaruh dengan quick count atau pun exit  poll yang dilakukan lembaga survei, namun juga punya sistem sendiri.

2. Proaktivitas command center dan jaringan relawan. Proses penghitungan suara harus dapat terus dikawal oleh Commnd Center bersama para pakar keamanan siber dan jaringan relawan yang tersebar di seluruh Indonesia, sehingga data internal juga akan menjadi acuan untuk timnas. Ini dilakukan bersamaan, sambil menunggu hasil pemilu (real count) yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

3. Pemeriksaan mendalam terhadap sistem informasi. Lakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap sistem informasi yang digunakan dalam proses pemilu, termasuk Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Identifikasi kelemahan dan celah keamanan dalam sistem serta lakukan perbaikan segera untuk memastikan keandalan dan integritasnya.

4. Keterlibatan lembaga independen. Libatkan lembaga independen dan kredibel dalam proses pemeriksaan dan audit terhadap data pemilu. Lembaga ini dapat memberikan penilaian objektif tentang kebenaran dan keandalan data, sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Termasuk didalamnya pelibatan penyelenggara quick count dan exit poll yang memiiki kredibilitas dan rekam jejak presisif di penyelenggaraan pemilu dan pilkada sebelumnya.

5. Transparansi dan komunikasi aktif. Tingkatkan transparansi dalam menyampaikan informasi tentang proses pemilu dan langkah-langkah yang diambil untuk menangani kekacauan data. Sampaikan secara aktif kepada publik tentang langkah-langkah perbaikan yang dilakukan dan jangan ragu untuk menjawab keluhan atau pertanyaan secara terbuka.

6. Perbaikan infrastruktur dan teknologi. Di masa mendatang kita perlu memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur teknologi informasi. Termasuk didalamnya konektivitas internet di daerah-daerah terpencil, serta melakukan peningkatan pada sistem dan perangkat lunak yang digunakan dalam pemilu. Pastikan bahwa sistem yang digunakan dapat mengakomodasi volume data yang besar dan beroperasi dengan efisien.

7. Keterlibatan masyarakat. Libatkan masyarakat secara aktif dalam proses pemantauan dan pengawasan pemilu. Dorong partisipasi masyarakat dalam mengidentifikasi masalah dan menyampaikan keluhan mereka, sehingga dapat diambil tindakan yang tepat untuk memperbaiki situasi. Peserta pemilu juga penting menyediakan call center yang membuka posko 24 jam laporan atas dugaan pelanggaran, kecurangan, maupun persoalan terkait pemungutan suara dan tindak lanjutnya.

8. Penegakan hukum terhadap pelanggaran. Pastikan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran dalam proses pemilu. Sanksi yang tegas harus diterapkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam manipulasi data atau kecurangan pemilu, sehingga memberikan efek jera dan mencegah terulangnya praktik-praktik yang merugikan integritas pemilu.

9. Rekonsiliasi data dan koreksi publik. Lakukan rekonsiliasi data secara terbuka dan transparan, serta lakukan koreksi publik terhadap kesalahan atau kekacauan yang terjadi dalam proses pemilu. Komunikasikan dengan jelas kepada publik tentang langkah-langkah yang diambil untuk memastikan kebenaran dan integritas hasil pemilu.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini secara efektif, diharapkan dapat mengurangi dampak kekacauan data pemilu dan memulihkan kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilihan umum.

Dari uraian diatas, kita dapat menyimpulkan, bahwa dalam mengelola kekisruhan data pemilu, perspektif risk management memainkan peran penting dalam memitigasi risiko. Sekaligus juga untuk memastikan integritas proses pemilihan umum. Dengan mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi, pelatihan petugas, dan proses pelaporan, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekacauan data yang dapat merugikan kepercayaan publik.

Melalui penerapan solusi-solusi yang diusulkan, diharapkan pemilihan umum selanjutnya dapat menjadi lebih transparan dan akurat. Dengan meningkatkan infrastruktur teknologi, menerapkan praktik pengawasan yang ketat, dan memperkuat komunikasi serta keterlibatan publik, diharapkan dapat memastikan bahwa proses pemilihan umum dapat berlangsung dengan lebih efisien dan dapat dipercaya.

Dengan demikian, melalui pendekatan risk management yang holistik dan penerapan solusi-solusi yang tepat, harapan untuk pemilihan umum yang lebih transparan, akurat, dan terpercaya dapat menjadi kenyataan, menjaga integritas dan legitimasi hasil pemilu di mata masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun