Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awas, Jangan Terbalik: Pentingnya Urutan Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Perspektif Islam

29 Januari 2024   06:07 Diperbarui: 29 Januari 2024   22:30 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Islamic Values Leadership itu setidaknya ada 7 nilai utama, dan jangan terbalik ! | Image: ideogram.com

"Keadilan, tanggung jawab, dan konsultasi menjadi fondasi utama dalam memimpin dengan bijaksana dan beretika."

Dalam landasan kepemimpinan menurut perspektif Islam, nilai-nilai esensial menjadi panduan utama bagi para pemimpin. Keadilan, tanggung jawab, dan konsultasi bukan hanya sekadar konsep, tetapi prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam mengelola kekuasaan.

Keadilan, sebagai pijakan utama, menuntun pada perlakuan yang adil bagi semua warga negara, sementara tanggung jawab mengajarkan pemimpin untuk mengelola kekuasaan sebagai amanah. Dalam dunia yang kompleks, prinsip konsultasi juga membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan penting.

Menurut perspektif Islam, sebuah pemerintahan yang baik adalah yang mendasarkan kebijakannya pada prinsip-prinsip tersebut dan bertujuan untuk kebaikan bersama serta kesejahteraan umat.

Dalam konteks kebijakan dan kepemimpinan, inilah 7 nilai-nilai terpenting dan utama terkait jabatan dan kekuasaan menurut perspektif Islam, berikut alasan-asalannya.

Pertama (dan Utama) : Keadilan

Keadilan merupakan nilai yang sangat penting dalam Islam. Seorang pemimpin diharapkan untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dalam semua keputusan dan tindakan yang diambil. Ini mencakup perlakuan yang adil terhadap semua warga negara tanpa memandang agama, ras, atau status sosial. Ini melibatkan memberikan hak dan kewajiban yang sesuai dengan apa yang pantas atau layak, serta menegakkan hukum dan norma-norma moral dengan adil.

Keadilan dianggap nilai terpenting dalam Islam karena merupakan prinsip dasar yang harus ditegakkan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam kebijakan dan kepemimpinan. Tanpa keadilan, tidak mungkin tercapai kehidupan yang adil dan sejahtera bagi seluruh Masyarakat.

Dalam konteks keadilan, kesetaraan dapat menjadi bagian dari itu, karena prinsip kesetaraan memberikan landasan bagi perlakuan yang adil. Kesetaraan, di sisi lain, lebih berfokus pada pemberian hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama bagi semua individu tanpa memandang perbedaan apapun. Ini berarti bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, pendidikan, kesempatan pekerjaan, perlindungan hukum, dan lain-lain.

Kedua, Tanggung jawab (Amanah)

Seorang pemimpin dianggap memiliki tanggung jawab besar terhadap Allah dan umatnya. Mereka harus memperlakukan kekuasaan dan otoritas mereka sebagai amanah yang harus dijaga dan digunakan dengan bijaksana.

Tanggung jawab merupakan nilai yang penting karena seorang pemimpin memiliki amanah yang besar dari Allah dan masyarakat untuk mengelola kekuasaan dengan baik dan bertanggung jawab. Tanpa tanggung jawab, kekuasaan dapat disalahgunakan dan membawa dampak negatif bagi masyarakat.

Ketiga, Konsultasi (Shura)

Prinsip konsultasi dalam pengambilan keputusan sangat penting dalam Islam. Seorang pemimpin diharapkan untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat dan masukan dari para ahli dan masyarakat sebelum mengambil keputusan yang penting.

Prinsip konsultasi menempati posisi penting karena pentingnya mendengarkan pendapat dan masukan dari berbagai pihak sebelum mengambil keputusan. Ini membantu menciptakan keputusan yang lebih baik dan mendapatkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat.

Dalam praktiknya, keputusan seorang pemimpin harus berdasarkan data, teruji secara ilmiah dan saintifik, melibatkan sejumlah pakar didalamnya, serta telah melakukan kajian yang mendalam dan membuka dialog dengan masyarakat luas.

Keempat, Kemasyarakatan (Maslahah)

Prinsip "kemasyarakatan" atau "maslahah" menggarisbawahi pentingnya pemimpin untuk bertindak demi kesejahteraan umat atau kepentingan bersama. Ini menekankan bahwa keputusan dan kebijakan harus dipertimbangkan dengan memperhatikan manfaat dan kerugian bagi masyarakat secara keseluruhan. Konsep ini mendorong pemimpin untuk memastikan distribusi yang adil dari sumber daya, memberikan layanan publik yang berkualitas, dan mempromosikan keadilan sosial serta kesetaraan.

Dalam praktiknya, prinsip ini menjadi pedoman bagi pemimpin Islam untuk mengambil keputusan yang memperhatikan kepentingan umum dan memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh masyarakat, sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Kebermanfaatan dan kebermaknaan adalah kuncinya.

Kelima, Kemurahan hati (Ihsan)

Kemurahan hati dan kepedulian terhadap orang lain, terutama yang membutuhkan, adalah nilai penting dalam Islam. Seorang pemimpin diharapkan untuk berbuat baik dan memberikan dukungan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Kemurahan hati dan kepedulian terhadap orang lain penting dalam Islam, namun dalam konteks kebijakan dan kepemimpinan, hal ini bisa menjadi lebih subjektif dan sulit untuk diukur atau diterapkan secara konsisten dalam keputusan politik.

Keenam, Keteladanan

Seorang pemimpin diharapkan untuk menjadi contoh yang baik dalam perilaku dan tindakan mereka. Mereka harus mempraktikkan nilai-nilai moral dan etika yang tinggi, serta menunjukkan integritas dan kepemimpinan yang kuat.

Meskipun keteladanan menjadi nilai penting dalam Islam, dalam konteks kebijakan dan kepemimpinan, hal ini bisa menjadi lebih sulit untuk diukur dan dipraktikkan secara konsisten. Selain itu, terlalu fokus pada keteladanan individu juga dapat mengabaikan aspek struktural dan kelembagaan yang memengaruhi kualitas kepemimpinan.

Ketujuh, Kesetiaan dan Ketaatan kepada Hukum

Seorang pemimpin diharapkan untuk tetap setia dan patuh kepada hukum-hukum Islam serta hukum-hukum yang berlaku di negaranya, selama hukum-hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Meskipun kesetiaan dan ketaatan kepada hukum penting dalam Islam, dalam konteks kebijakan dan kepemimpinan, hal ini bisa menjadi lebih ambigu karena hukum sering kali bersifat dinamis dan terbuka untuk interpretasi. Selain itu, dalam situasi di mana hukum bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan tanggung jawab, nilai-nilai tersebut harus diprioritaskan.

Awas, Jangan Terbalik Urutan Nilainya !

Awas, 7 nilai ini harus berurut, dan tidak terbalik. Keadilan harus ditempatkan pada peringkat pertama dan utama. Bila terbalik, Dimana Kesetiaan dan Ketaatan kepada Hukum dikedepankan, ini berbahaya. Karena perangkat hukum bisa aturable, disesuaikan dengan selera penguasa. Akibatnya, banyak aturan hukum dan perundang-undang dibuat sedemikian rupa disesuaikan dengan kepentingan atau selera penguasa, atau kepentingan kelompoknya. Jelas, ini bisa menimbulkan dampak ikutan yang jauh lebih serius dan sistemik.

Jika urutan nilai-nilai tersebut dibalik, dengan mendahulukan Kesetiaan dan Ketaatan kepada Hukum dan menempatkan Keadilan pada prioritas terakhir, ada beberapa potensi risiko yang mungkin timbul:

1. Ketidakadilan. Dengan menempatkan keadilan pada prioritas terakhir, risiko utamanya adalah bahwa kebijakan dan tindakan pemimpin mungkin tidak memperhatikan prinsip-prinsip keadilan. Ini dapat menyebabkan diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, atau perlakuan tidak adil terhadap sebagian masyarakat.

2. Ketidakseimbangan dalam hukum. Dengan mendahulukan kesetiaan dan ketaatan kepada hukum tanpa mempertimbangkan keadilan, ada risiko bahwa hukum yang diterapkan menjadi tidak seimbang atau tidak adil. Hukum bisa menjadi instrumen untuk mempertahankan status quo atau kepentingan tertentu tanpa memperhatikan keadilan bagi semua pihak.

3. Ketidakmungkinan konsultasi yang efektif. Jika konsultasi ditempatkan pada prioritas yang rendah, pemimpin mungkin cenderung mengabaikan pendapat dan masukan dari masyarakat dan para ahli dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat mengurangi legitimasi kebijakan dan memicu ketidakpuasan di antara warga negara.

4. Kurangnya tanggung jawab. Dengan menempatkan tanggung jawab pada prioritas yang lebih rendah, risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin menjadi lebih besar. Mereka mungkin tidak merasa terikat untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan dapat mengabaikan akuntabilitas kepada masyarakat.

5. Kurangnya kemurahan hati dan empati. Jika kemurahan hati ditempatkan pada prioritas yang rendah, pemimpin mungkin kurang peduli terhadap kebutuhan dan penderitaan masyarakat yang kurang beruntung. Ini dapat menghasilkan kebijakan yang tidak sensitif terhadap kesulitan yang dihadapi oleh segmen tertentu dalam masyarakat.
6. Kurangnya keteladanan. Dengan menempatkan keteladanan pada prioritas yang lebih rendah, pemimpin mungkin tidak memberikan contoh yang baik dalam perilaku dan tindakan mereka. Ini dapat mengurangi kepercayaan dan kepatuhan dari masyarakat terhadap kepemimpinan mereka.

7. Risiko perpecahan sosial. Akumulasi dari risiko-risiko di atas dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial, ketegangan antara berbagai kelompok masyarakat, dan bahkan konflik yang lebih besar dalam masyarakat. Hal ini dapat mengancam kedamaian dan kestabilan negara secara keseluruhan.

Dalam konteks tertentu, "Risiko Perpecahan Sosial" dapat mengarah pada disintegrasi bangsa dan bahkan kehancuran negara. Perpecahan sosial terjadi ketika masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan atau tidak sejalan satu sama lain, sering kali disebabkan oleh ketidakadilan, ketidaksetaraan, atau perlakuan yang tidak adil dari pemerintah atau struktur kekuasaan yang ada.

Jika perpecahan sosial dibiarkan tidak terkendali, ini dapat mengarah pada konflik internal yang parah, terpecahnya bangsa menjadi entitas yang lebih kecil, atau bahkan pecahnya negara menjadi beberapa entitas yang lebih kecil atau wilayah yang tidak stabil. Ini bisa mengakibatkan kerusakan ekonomi, politik, dan sosial yang serius serta kehilangan nyawa dan penderitaan manusia yang tak terhitung jumlahnya.

Dalam konteks tertentu merujuk pada situasi atau kondisi spesifik di mana risiko perpecahan sosial menjadi lebih signifikan atau berpotensi mengarah pada konsekuensi yang lebih serius, termasuk disintegrasi bangsa atau kehancuran negara.

8. Ketegangan etnis atau agama yang tinggi. Di negara-negara yang memiliki keragaman etnis atau agama yang tinggi, ketegangan antar kelompok-kelompok ini dapat memicu perpecahan sosial yang berbahaya jika tidak dikelola dengan bijaksana.

9. Konflik bersenjata atau perang sipil. Negara-negara yang mengalami konflik bersenjata atau perang sipil sering kali memiliki risiko perpecahan sosial yang tinggi. Konflik ini bisa memperburuk ketidakstabilan dan mengancam integritas negara secara keseluruhan.

10. Ketidakpuasan sosial yang luas. Ketidakpuasan sosial yang luas terhadap pemerintah, struktur kekuasaan, atau sistem politik yang ada dapat menjadi pemicu bagi perpecahan sosial jika tidak ditangani secara efektif.

11. Krisis ekonomi yang mendalam. Krisis ekonomi yang parah sering kali menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik yang dapat memicu perpecahan sosial jika tidak ditangani dengan tepat. Krisis ini bisa berupa utang negara yang membengkak, inflasi yang tinggi, hilangnya aset-aset strategis negara, sumber daya alam yang terkuras dan rusak parah, hingga daya saing dan ketahanan ekonomi negara yang lemah.

Dalam konteks seperti ini, risiko perpecahan sosial tidak hanya mengancam stabilitas dan kesejahteraan negara, tetapi juga dapat mengakibatkan kerusakan yang mendalam bagi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko ini dengan cermat untuk mencegah eskalasi konflik yang merugikan bagi semua pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemimpin untuk mengelola risiko perpecahan sosial dengan serius dan berupaya mempromosikan inklusivitas, keadilan, dan rekonsiliasi di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Ini adalah bagian integral dari membangun negara yang stabil, adil, dan sejahtera bagi seluruh warganya.

Pertanyaan Terpenting 

Dari uraian diatas, tak ada salahnya bila kita kemukakan satu pertanyaan penting: "Bagaimana nilai-nilai ini diintegrasikan dan diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret dan tindakan kepemimpinan yang diambil?"

Pertanyaan ini penting karena mencakup aspek praktis dari penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Ini mencakup bagaimana pemimpin memastikan keadilan dalam kebijakan mereka, bagaimana mereka melibatkan masyarakat dalam proses konsultasi, bagaimana mereka mempertimbangkan kepentingan umum dalam pengambilan keputusan, dan bagaimana mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka. Pertanyaan ini juga mengarah pada bagaimana pemimpin menunjukkan keteladanan, kemurahan hati, dan kesetiaan kepada hukum dalam tindakan mereka sehari-hari.

Dengan menjawab pertanyaan ini, pemimpin dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai Islam dalam praktek kebijakan dan kepemimpinan mereka.

Kesimpulannya, dari keseluruhan diskusi, jelaslah bahwa nilai-nilai seperti keadilan, tanggung jawab, dan konsultasi memainkan peran krusial dalam membentuk kepemimpinan yang berintegritas dan berkelanjutan menurut pandangan Islam.

Dengan memahami esensi nilai-nilai ini, kita dapat membentuk pemimpin yang bertanggung jawab, adil, dan mampu mengakomodasi kepentingan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun