3. Ketidakmungkinan konsultasi yang efektif. Jika konsultasi ditempatkan pada prioritas yang rendah, pemimpin mungkin cenderung mengabaikan pendapat dan masukan dari masyarakat dan para ahli dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat mengurangi legitimasi kebijakan dan memicu ketidakpuasan di antara warga negara.
4. Kurangnya tanggung jawab. Dengan menempatkan tanggung jawab pada prioritas yang lebih rendah, risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin menjadi lebih besar. Mereka mungkin tidak merasa terikat untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan dapat mengabaikan akuntabilitas kepada masyarakat.
5. Kurangnya kemurahan hati dan empati. Jika kemurahan hati ditempatkan pada prioritas yang rendah, pemimpin mungkin kurang peduli terhadap kebutuhan dan penderitaan masyarakat yang kurang beruntung. Ini dapat menghasilkan kebijakan yang tidak sensitif terhadap kesulitan yang dihadapi oleh segmen tertentu dalam masyarakat.
6. Kurangnya keteladanan. Dengan menempatkan keteladanan pada prioritas yang lebih rendah, pemimpin mungkin tidak memberikan contoh yang baik dalam perilaku dan tindakan mereka. Ini dapat mengurangi kepercayaan dan kepatuhan dari masyarakat terhadap kepemimpinan mereka.
7. Risiko perpecahan sosial. Akumulasi dari risiko-risiko di atas dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial, ketegangan antara berbagai kelompok masyarakat, dan bahkan konflik yang lebih besar dalam masyarakat. Hal ini dapat mengancam kedamaian dan kestabilan negara secara keseluruhan.
Dalam konteks tertentu, "Risiko Perpecahan Sosial" dapat mengarah pada disintegrasi bangsa dan bahkan kehancuran negara. Perpecahan sosial terjadi ketika masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan atau tidak sejalan satu sama lain, sering kali disebabkan oleh ketidakadilan, ketidaksetaraan, atau perlakuan yang tidak adil dari pemerintah atau struktur kekuasaan yang ada.
Jika perpecahan sosial dibiarkan tidak terkendali, ini dapat mengarah pada konflik internal yang parah, terpecahnya bangsa menjadi entitas yang lebih kecil, atau bahkan pecahnya negara menjadi beberapa entitas yang lebih kecil atau wilayah yang tidak stabil. Ini bisa mengakibatkan kerusakan ekonomi, politik, dan sosial yang serius serta kehilangan nyawa dan penderitaan manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam konteks tertentu merujuk pada situasi atau kondisi spesifik di mana risiko perpecahan sosial menjadi lebih signifikan atau berpotensi mengarah pada konsekuensi yang lebih serius, termasuk disintegrasi bangsa atau kehancuran negara.
8. Ketegangan etnis atau agama yang tinggi. Di negara-negara yang memiliki keragaman etnis atau agama yang tinggi, ketegangan antar kelompok-kelompok ini dapat memicu perpecahan sosial yang berbahaya jika tidak dikelola dengan bijaksana.
9. Konflik bersenjata atau perang sipil. Negara-negara yang mengalami konflik bersenjata atau perang sipil sering kali memiliki risiko perpecahan sosial yang tinggi. Konflik ini bisa memperburuk ketidakstabilan dan mengancam integritas negara secara keseluruhan.
10. Ketidakpuasan sosial yang luas. Ketidakpuasan sosial yang luas terhadap pemerintah, struktur kekuasaan, atau sistem politik yang ada dapat menjadi pemicu bagi perpecahan sosial jika tidak ditangani secara efektif.
11. Krisis ekonomi yang mendalam. Krisis ekonomi yang parah sering kali menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik yang dapat memicu perpecahan sosial jika tidak ditangani dengan tepat. Krisis ini bisa berupa utang negara yang membengkak, inflasi yang tinggi, hilangnya aset-aset strategis negara, sumber daya alam yang terkuras dan rusak parah, hingga daya saing dan ketahanan ekonomi negara yang lemah.