“Ketahuilah, saudara-saudaraku”, kata sang ulama dengan nada yang lugas dan sedikit lebih cepat. “Aku lebih senang ada diantara kalian yang mau berkenan mencari tahu bagaimana kondisi ia sekarang. Sungguh perhatian kalian pada sesama penuntut ilmu jauh aku hargai dan jauh lebih bernilai dimataku, dibandingkan kalian sibuk haus mencari ilmu di majelis ilmu ini atau pun di majelis ilmu lainnya. Menyayangi saudara semuslim, bersilaturahmi dengan diri dan keluargnya, memastikan hak-haknya telah terpenuhi, jauh itu lebih baik daripada kalian hanya berkutat, datang dan mencatat di majelis ini”.
“Ketahuilah, saudara-saudaraku… “, suara sang guru terhenti. Nafas panjang ia tarik cepat-cepat. Suara tarikan nafasnya terdengar begitu jelas. Seolah ada sesuatu yang mengganggu di pita suaranya. Namun, tak berapa lama, ia pun melanjutkan.
“Ketahuilah, saudara-saudaraku…. Kini aku khawatir, bahwa dunia dan ilmu itu sama. Dunia dan ilmu itu yang akan menyebabkan seseorang merasa kehausan, dan terus mengumpulkannya hingga ia terpisah antara ruh dan jasadnya. Bagi pecinta dunia, ia akan celaka. Namun bagi pecinta ilmu, ia belum tentu selamat. Ilmu tanpa amal itu bagaikan pohon tanpa buah. Ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Ilmu tanpa amal adalah gila. Dan amal tanpa ilmu, tak ada nilainya. Ilmu itu sarana, dan amal adalah tujuan".
"Aku juga khawatir, bahwa aku belum berhasil menanamkan adab pada kalian semua. Karena itu yang nanti akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Adab itu sesungguhnya praktik dari iman, ilmu dan amal. Dan kita, belum benar, belum ikhlas, belum sungguh-sungguh serius beramal karena Allah Yang Maha Mengetahui Segala Isi Hati".
Singkat cerita, setelah kajian ilmu di mejelis itu usai, seorang murid lain datang menghampiri. Di majelis itu, tak ada orang lain selain ia dan gurunya. Ia meminta maaf dan menceritakan. “Guruku, mohon maaf. Saya baru teringat, beberapa bulan yang lalu saya pernah satu perjalanan dengannya. Dan saya tahu dimana ia tinggal. Saya malu, karena saya baru ingat sekarang. Saya ingat, katamu, dosa itu yang membuat seseorang lupa dan dilupakan Allah. Saya lupa karena saya banyak dosa. Kurangnya iman, kurangnya berdzikir, kurangnya bersyukur, dan ada rasa bangga dengan amal dan kebiasan baik saya”.
Gurunya pun lalu, menepuk pundak muridnya, seraya bertaka, “Tak apa, dan bersukurlah atas semua itu. Allah telah membukakan semua rasa itu padamu, dan pada kita. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Kini, mari kita pergi ke saudara kita fulan bin fulan itu".
Mereka pun akhirnya berdua melakukan perjalanan. Dibutuhkan waktu lebih setengah hari untuk menuju tempat yang dimaksud. Namun setelah tiba di tempat, di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Tetangganya bilang, bahwa istrinya sedang menghadiri sebuah mejelis ilmu khusus kajian perempuan. Sementara ketiga anaknya berada di pesantren di luar kota, dan fulan bin fulan sendiri sedang berada di sebuah majelis ilmu di sebuah kampung yang tak jauh dari tempat itu.
Saat menemukannya, mereka berdua duduk di teras masjid, karena di masjid itu penuh sesak dengan jamaah yang hadir. Mereka berdua kaget, ternyata fulan bin fulan yang tengah menyampaikan kajian di majelis ilmu itu. Namun mereka pun bersyukur, fulan bin fulan nampak sehat, mengisi kajian ilmu dengan sangat mendalam, dan menyentuh perasaan. Nasihat-nasihatnya pun menginpirasikan. Serasa ada telaga kering didalam jiwa yang kini tersiram dan segar dengan kata-kata. Menyentuh, indah, dan menginspirasikan untuk segera mengamalkan apa pun ilmu yang bermanfaat yang kita dapat.
Setelah kajian usai, ketiganya bertemu dan berangkulan. Fulan bin fulan pun meminta dan memohon maaf sebesar-besarnya. Ia menceritakan bahwa sesungguhnya hari itu dia akan hadir, menimba ilmu pada gurunya seperti biasanya. Namun majelis ini meminta kepadanya untuk mengisi acara kajiannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk memenuhi permintaan itu. Ada pun ketidakhadirannya selama empat kali pertemuan itu, semata-mata karena ia ingin kembali menata hati, jiwa dan perilakunya sendiri.
Dengan suara perlahan dan mendalam, fulan bin fulan pun kembali meminta maaf, dan mengatakan,
“Sungguh guruku, aku meminta maaf tak menghadiri majelis ilmu. Aku tengah sibuk dengan diriku sendiri. Aku sedang menata diriku, agar aku merasa lebih baik, dan menjadi lebih bail. Sungguh, aku sudah bisa untuk tidak tamak pada dunia. Karena engkau pernah menyampaikan, bagaimana ketamakan atau kerakusan itu yang mengeluarkan Nabi Adam dari surga. Guru dan engkau pun tahu sahabatku, rumahku cukup sederhana. Namun aku sangat berharap, infak, sedekah dan perjuanganku pada dakwah jauh lebih baik dan bernilai di mata Allah”.