Ada seorang ulama yang sesaat setelah ia mengkaji ilmu, ia malah bersedih dan terdiam begitu lama. Muridnya datang perlahan menghampiri, dan bertanya apa gerangan yang sedang beliau pikirkan, termenung begitu lama, dan nampak bersedih.
Ulama yang sudah sangat sepuh itu pun terdiam. Menatap lekat-lekat mata muridnya, dan beliau hanya tersenyum. Sang murid pun akhirnya ikut tersenyum juga. Namun, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut sang guru.
Beberapa saat kemudian, sang murid pun memiringkan badanya kedepan, dan kembali bertanya. "Apa gerangan guruku, yang sebenarnya engkau pikirkan. Bila berkenan, aku ingin sekali tahu apa yang sedang menjadikanmu gundah gulana tak seperti hari-hari lainnya. Dan ini baru pertama kali aku lihat, setelah sekian lama aku bersamamu dan sejumlah orang di majelis ini yang sedang mengikutimu..."
Sang guru pun menarik nafas panjang. Kembali melihat mata muridnya lekat-lekat, dan perlahan menjawab.
"Seandainya di usiaku yang sudah renta ini, Allah anugrahkan usia tambahan 1000 tahun lagi, maka rasanya ku tak sanggup mempelajari risalah dan ajaran Rasulullah yang sudah beliau berikan kepada umat yang sangat dicintainya. Karena itu, aku ingin kesungguhanku mencari dan mengamalkan ilmu yang tak seberapa ini, berbalapan dengan usiaku yang hanya menghitung waktu....".
"Semoga kesungguhanku menyebarkan sedikit ilmu ini menjadi saksi kelak dan menjadi peringan atas dosa-dosaku selama ini..."
Esoknya, sang guru tak melihat murid kesayangannya itu hadir di majelis ilmunya. Begitu juga pada saat pertemuan kedua, ketiga dan keempat. Khawatir akan kondisi muridnya yang sudah empat kali tak hadir di majelis kajian ilmu, sang guru pun bertanya pada semua hadirin di majelis itu.
“Adakah kalian tahu, bagaimana kondisi fulan bin fulan sekarang ini ? Ia sudah beberapa kali pertemuan di kajian ilmu di majelis ini ia tak nampak terlihat. Aku khawatir, dia sakit. Atau dia ada kesulitan yang mungkin dengan kebersamaan dan rasa persaudaraan kita ini, kita bisa bisa menolong atau sedikit membantunya”.
Di majelis yang besar itu, sesama anggota majelis satu sama lain saling melihat. Mereka sama-sama berharap satu sama lain, ada diantara anggota majelis yang menjadi tetangganya atau teman seperjalanannya, bisa menjawab. Sang guru pun bertanya ulang kepada semua yang hadir di majelis ilmu itu. “Adakah teman seprofesi dengannya atau yang menjadi sahabatnya, yang mengetahui bagaimana kondisi fulan bin fulan itu kini ?”.
Di ruang majelis ilmu yang besar itu kini hening terasa. Mereka tahu, bila gurunya sudah bertanya berulang-ulang, itu pertanda beliau akan memberi penekanan yang tinggi. Beliau akan berbicara dengan nada yang mungkin meninggi, atau mungkin marah. Namun bukan marah-marah, karena beliau tidak pernah sekali pun pernah marah-marah. Mereka tahu, gurunya tak merasa nyaman dengan kondisi seperti itu, dan mereka merasa berdosa karena tak satupun anggota majelis yang mengetahui kondisi terahir fulan bin fulan sekarang ini.
“Ketahuilah, saudara-saudaraku”, kata sang ulama dengan nada yang lugas dan sedikit lebih cepat. “Aku lebih senang ada diantara kalian yang mau berkenan mencari tahu bagaimana kondisi ia sekarang. Sungguh perhatian kalian pada sesama penuntut ilmu jauh aku hargai dan jauh lebih bernilai dimataku, dibandingkan kalian sibuk haus mencari ilmu di majelis ilmu ini atau pun di majelis ilmu lainnya. Menyayangi saudara semuslim, bersilaturahmi dengan diri dan keluargnya, memastikan hak-haknya telah terpenuhi, jauh itu lebih baik daripada kalian hanya berkutat, datang dan mencatat di majelis ini”.
“Ketahuilah, saudara-saudaraku… “, suara sang guru terhenti. Nafas panjang ia tarik cepat-cepat. Suara tarikan nafasnya terdengar begitu jelas. Seolah ada sesuatu yang mengganggu di pita suaranya. Namun, tak berapa lama, ia pun melanjutkan.
“Ketahuilah, saudara-saudaraku…. Kini aku khawatir, bahwa dunia dan ilmu itu sama. Dunia dan ilmu itu yang akan menyebabkan seseorang merasa kehausan, dan terus mengumpulkannya hingga ia terpisah antara ruh dan jasadnya. Bagi pecinta dunia, ia akan celaka. Namun bagi pecinta ilmu, ia belum tentu selamat. Ilmu tanpa amal itu bagaikan pohon tanpa buah. Ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Ilmu tanpa amal adalah gila. Dan amal tanpa ilmu, tak ada nilainya. Ilmu itu sarana, dan amal adalah tujuan".
"Aku juga khawatir, bahwa aku belum berhasil menanamkan adab pada kalian semua. Karena itu yang nanti akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Adab itu sesungguhnya praktik dari iman, ilmu dan amal. Dan kita, belum benar, belum ikhlas, belum sungguh-sungguh serius beramal karena Allah Yang Maha Mengetahui Segala Isi Hati".
Singkat cerita, setelah kajian ilmu di mejelis itu usai, seorang murid lain datang menghampiri. Di majelis itu, tak ada orang lain selain ia dan gurunya. Ia meminta maaf dan menceritakan. “Guruku, mohon maaf. Saya baru teringat, beberapa bulan yang lalu saya pernah satu perjalanan dengannya. Dan saya tahu dimana ia tinggal. Saya malu, karena saya baru ingat sekarang. Saya ingat, katamu, dosa itu yang membuat seseorang lupa dan dilupakan Allah. Saya lupa karena saya banyak dosa. Kurangnya iman, kurangnya berdzikir, kurangnya bersyukur, dan ada rasa bangga dengan amal dan kebiasan baik saya”.
Gurunya pun lalu, menepuk pundak muridnya, seraya bertaka, “Tak apa, dan bersukurlah atas semua itu. Allah telah membukakan semua rasa itu padamu, dan pada kita. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Kini, mari kita pergi ke saudara kita fulan bin fulan itu".
Mereka pun akhirnya berdua melakukan perjalanan. Dibutuhkan waktu lebih setengah hari untuk menuju tempat yang dimaksud. Namun setelah tiba di tempat, di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Tetangganya bilang, bahwa istrinya sedang menghadiri sebuah mejelis ilmu khusus kajian perempuan. Sementara ketiga anaknya berada di pesantren di luar kota, dan fulan bin fulan sendiri sedang berada di sebuah majelis ilmu di sebuah kampung yang tak jauh dari tempat itu.
Saat menemukannya, mereka berdua duduk di teras masjid, karena di masjid itu penuh sesak dengan jamaah yang hadir. Mereka berdua kaget, ternyata fulan bin fulan yang tengah menyampaikan kajian di majelis ilmu itu. Namun mereka pun bersyukur, fulan bin fulan nampak sehat, mengisi kajian ilmu dengan sangat mendalam, dan menyentuh perasaan. Nasihat-nasihatnya pun menginpirasikan. Serasa ada telaga kering didalam jiwa yang kini tersiram dan segar dengan kata-kata. Menyentuh, indah, dan menginspirasikan untuk segera mengamalkan apa pun ilmu yang bermanfaat yang kita dapat.
Setelah kajian usai, ketiganya bertemu dan berangkulan. Fulan bin fulan pun meminta dan memohon maaf sebesar-besarnya. Ia menceritakan bahwa sesungguhnya hari itu dia akan hadir, menimba ilmu pada gurunya seperti biasanya. Namun majelis ini meminta kepadanya untuk mengisi acara kajiannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk memenuhi permintaan itu. Ada pun ketidakhadirannya selama empat kali pertemuan itu, semata-mata karena ia ingin kembali menata hati, jiwa dan perilakunya sendiri.
Dengan suara perlahan dan mendalam, fulan bin fulan pun kembali meminta maaf, dan mengatakan,
“Sungguh guruku, aku meminta maaf tak menghadiri majelis ilmu. Aku tengah sibuk dengan diriku sendiri. Aku sedang menata diriku, agar aku merasa lebih baik, dan menjadi lebih bail. Sungguh, aku sudah bisa untuk tidak tamak pada dunia. Karena engkau pernah menyampaikan, bagaimana ketamakan atau kerakusan itu yang mengeluarkan Nabi Adam dari surga. Guru dan engkau pun tahu sahabatku, rumahku cukup sederhana. Namun aku sangat berharap, infak, sedekah dan perjuanganku pada dakwah jauh lebih baik dan bernilai di mata Allah”.
“Aku pun belajar keras untuk tidak hasad, iri dan dengki. Karena itu yang menyebabkan salah satu anak Nabi Adam membunuh saudaranya sendiri. Aku tidak hadir beberapa waktu ke majelismu, semata karena aku ingin menata kembali hatiku. Aku pun In Syaa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah menampakkan kesombongan, rasa angkuh atau pun takabur dengan ilmuku yang kupunya. Namun aku malu, aku malu pada diriku sendiri. Itu semua, karena aku sudah merasa lebih baik dari orang-orang lain yang tak seberuntungku bisa mencari dan menimba ilmu di majelis ilmu. Sungguh guruku, aku sunguh takut, rasa lebih baik itulah yang menjerumuskan iblis pada kedudukannya yang hina. Dan aku berada didalamnya”.
Guru dan sahabatnya pun kembali memuluknya. Lalu ia memohon fulan bin fulan memanjatkan doa untuk mereka dan keluarganya.
"Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima. Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan berikanlah aku pemahaman yang baik."
"Ya Allah, jadikanlah ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku bermanfaat bagiku. Ajarkanlah kepadaku ilmu yang berguna untukku dan tambahkanlah kepadaku ilmu. Segala puji bagi Allah atas segala hal, aku berlindung kepada Allah dari keadaan dan segala hal yang dilakukan penghuni neraka".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H