Tiga kasus besar di tubuh Polri: Kasus Sambo, Kajuruhan dan Teddy Minahasa kini kian ramai dan hingar bingar. Menurut hemat saya, kita bisa melihat ketiga kasus ini dari dua kacamata: "Kacamata lalat" dan "kacamata lebah".
Kacamata lalat bisa nampak sebagai kritik pedas, cibiran, nyinyiran, hingga yang terkemas dengan dalih "kritik membangun".
Namun, di sisi lain, kita pun bisa memilih dengan "kacamata lebah". Yaitu, ruang improvement apa saja yang bisa dilakukan untuk menjadikan tubuh polri jauh lebih baik lagi kedepannya.
Tiga kasus besar Polri yang terjadi dalam waktu yang sangat berdekatan ini, sungguh mengingatkan saya saat dahulu memimpin sebuah departemen.
Departemen yang saya usulkan untuk dibentuk ke manajemen di sebuah perusahaan go public. Alhamdulillah, saat itu disetujui. Namanya Crisis Management Response Team.
Sebagai seorang yang pernah bergelut sebagai praktisi dan pemerhati Risk Management, saya tergoda untuk berbagi pengalaman. Karena, saat itu saya sungguh senang dan sangat tertarik dalam "memotret" permasalahan, dan mencari kaitan dan pola atau trend sebuah permasalahan dengan permasalahan-permasalahan lainnya.
Saat itu, ada atau tidaknya kaitan sebuah permasalahan dengan permasalahan lainnya, pasti akan saya cari, saya simpan dan saya petakan. Tentu saja dengan melibatkan para "staf ahli" dari berbagai departemen terkait.
Nah, dari peta atau pola itulah--frekuensi, intensitas, luasan atau dimensi dan dampaknya--kemudian kita putuskan apakah perlu dikaji lebih lanjut (dalam konteks manajemen resiko) atau tidak.
Bila dirasa perlu dan penting, akan dikaji lebih lanjut untuk menilai apakah itu bisa jadi potensi krisis atau tidak. Atau, hanya cukup dengan memberikan warning sign saja kepada pemangku kepentingan atau departemen terkait; dark start, top secret, secret atau most important.
Penggalan-penggalan dari pengalaman, hasil belajar, dan diskusi itulah yang menginspirasikan saya untuk membuat tulisan ini. Maklumlah tidak sedikit diantara kita, suka lupa terhadap sebuah permasalahan hanya karena ada permasalahan baru.
Persis seperti kita lupa pada sebuah isu sensitif, hanya karena ada isu baru yang (berpotensi) meresahkan. Tentu saja, kita tidak mau menjadi bangsa pelupa dan melupalan sejarah (bangsa) kita sendiri.
Dalam tataran yang lebih kecil di departemen, divisi, perusahaan atau institusi kita, misalnya, permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian Divisi Risk Management tak jarang kurang mendapat atensi dan support dari para pemangku "kepentingan".
Ironisnya, atensi dan support akan diberikan berlebih--kalau tidak ingin dikatakan reaktif--justru saat kejadian dan risiko besar sudah benar-benar terjadi: Dapat claim, somasi dan tuntutan hukum, bahkan mendapat sorotan media dan organisasi internasional
Untuk itu, kita harus belajar dari berbagai sumber:
1. Belajar dari kejadian (incident dan accident) yang pernah terjadi.
2. Kita belajar dari kejadian yang terjadi di departemen, divisi, perusahaan atau institusi lain.
3. Kita belajar dari kejadian yang terjadi di industri lain yang bisa kita petik sistem peringatan dininya, pengukurannya, sistem pengawasannya --- dan aplikasinya.
4. Kita belajar dengan "mengasah gergaji" dari training, seminar dan workshop yang relevan dengan profesi yang sedang kita geluti.
5. Kita belajar dari para praktisi sukses yang telah melaksanakan best practice yang bagus 5 tahun terakhir dan diakui hasilnya.
6. Kita belajar dari informasi-informasi yang berserak di dunia maya, kajian akademik dan ilmiah, asosiasi profesi dan media massa.
7. Kita belajar dari kekuatan imajinasi yang dilandasi dengan ilmu, naluri dan pengalaman yang pernah kita miliki
8 Kita belajar untuk belajar bagaimana belajar yang efektif untuk mengembangkan mindset personil, kualitas leadership, perbaikan system, transformasi kelembagaan, dan pelaksanaan program yang lebih baik.
Mengapa kita harus lebih banyak belajar, sungguh-sungguh dan serius di era FUCA ini?
Jawabannya adalah karena ilmu Risk Management adalah ilmu multidisipliner dan lintas profesi. Cakupan ilmu Risk Management, menurut saya juga berkait erat dan bersinggungan langsung dengan bahasan Enterprise Risk Management.
Mulai yang berkaitan dengan risiko keuangan (Financial Risk), risiko pemasaran (Market Risk), teknologi dan ICT, hukum (Legal Risk), produksi (Operastional & Project Risk), strategi manajemen, sumber daya manusia (HR Risk), hingga lingkugan strategis (CSR, regulasi dan otonomi daerah).
Tentu saja, bahasan itu berlaku di perusahaan. Di tubuh organisasi seperti Polri, lingkup ini saya yakin jauh lebih luas lagi, sehingga kompleksitasnya jauh lebih menantang lagi.
Meski rentang kendali Risk Manajemen itu terbatas kewenangannya, sementara cakupan kerjanya luas, namun dalam praktik di lapangan sebenarnya tak ada yang sulit untuk diselesaikan.
Kesulitan lebih banyak ditemukan pada sisi human saja. Baik dari sisi mindset (pola pikir), hingga kendala komunikasi dan kendala birokrasi.
Hanya saja, selama kita membuka hati dan pikiran kita, serta konsisten pada tujuan akhir yang harus didapat dan presisif, insya Allah kita akan senantiasa lebih baik dalam mengantisipasi, mengelola dan menanggulangi permasalahan, resiko dan krisis dalam perusahaan/institusi.
Keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM yang ada, sebenarnya bisa dikelola optimal dengan membuka kerjasama dengan pihak ketiga. Bisa dengan lembaga lain, dengan melibatkan asosiasi profesi dan akademisi, hingga institusi sejenis di luar negeri.
Diringkas lebih sederhana, keberhasilan penerapan manajemen risiko itu akan bagus bila dimulai dari perencanaan stratejik yang bagus. Yaitu, setidaknya mencakup:
1) Performa tinggi & presisif, 2) Konsep yang orisinal, ter-update dan customized, 3) Format dan pengemasan pelaporan yang kuat, komprehensif dan mengikat, 4) Akses dan koordinasi yang cepat, mendalam dan luas, 5) Pengawasan yang berlapis, dan 6) Management and Consultating Group.
Dalam sebuah diskusi terbatas dengan seorang sahabat yang pernah bekerja sebagai praktisi risk manajemen, ia berujar simpel, "Harus ada pembenahan yang berani, radikal dan menyeluruh Pak, dan jangan sebatas analisa, evaluasi dan laporan saja."
Pesan yang ringkas ini mengingatkan juga pada pesan bijak guru saya. Beliau pernah mengingatkan, "Bila suatu impian luhur tidak dapat dicapai dengan baik, benar dan cepat, maka hanya ada dua kemungkinan: Kita tak sungguh-sungguh serius bekerja, atau cara yang kita lakukan tidaklah efektif."
Akhirnya, kita semua berharap, ke depan Polri akan jadi organisasi pembelajar yang tranformatif, yaitu institusi Polri yang baik, kuat dan profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H