Mohon tunggu...
Agung Hidayat
Agung Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Orang pinggiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

De Luna Llena

16 Mei 2015   05:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Hmm, nggak ada yang lain pertanyaanya, Pak :) ?”. Ledek Luna diseberang telepon mendengar pertenyaan basa-basi yang sebetulnya di chat tadi sudah saling menanyakan. Aku hanya bisa nyengir jika mendengar keterus terangan si Luna ketika bicara, selain sifatnya yang gigih dan pantang menyerah.

“Ohya, kenapa kemarin kamu nggak mau aku jalan, Bar ?”. Terdengar Luna begitu hati-hati mengucapkanya, Mungkin Luna menganggap kejadian Desember itu adalah hal yang sensitif buat kita bicarakan terkait penolakan keinginanku melamarnya sebelumnya.

“ Eee, gimana ya... aku bingung mau menjelaskanya, Lun”.

“Kenapa harus malu ?” Desak Luna diseberang telepon sana.

“Ketika Jumat pagi itu, Jumat terakhir bulan Desember sebelum tahun baru , aku nggak mau kamu ajak jalan bukan karena apa-apa,tapi karena aku nggak punya duit”. Tuturku menjelaskan alasanku menolak ajakan Luna waktu itu.sembari melirihkan suaraku hingga seperti berbisik ketika sampai kata “nggak punya duit”, karena memang saat itu aku lagi nggak ada uang buat jalan, Sementara aku malu kalau sampai dibayari perempuan.

“Karena apa ,Bar...!? ” Tanya Luna sedikit meninggikan aksen suaranya, mungkin Luna mengira ada gangguan paket data internet yang menurun penetrasinya lalu mengakibatkan ketakjelasan suaraku di sebrang sana.

“Karena nggak punya duit”. Seketika Luna tertawa terbahak-bahak mendengarku.

“Apanya yang lucu, Luna ?”.

“Lucu aja,Bar... nggak biasanya Akbar bersikap gitu, Akbar yang selama ini aku kenal orangnya itu cuek dan ceplas-ceplos ngomongnya dan...” Kudengar Luna tersedak karena ngomong sambil tertawa sedang aku sendiri belum tahu letak kelucuan itu ada dimana.
“Dan apa...., Lun ?” Selidikku penasaran.

“Kamu dulu saja berani bilang pengen melamarku dan kamu jelaskan keadaan kamu belum punya pekerjaan, toh kamu enteng-enteng aja bilang ke aku”. Luna pun masih terpingkal-pingkal disebrang telepon.

Spontan tawaku pun pecah mendengar penjelasan Luna, yang bisa aku lakukan cuma garuk-garuk rambut kepala. Mungkin suhu di kutub utara akan menghangat jika tahu kehangatan suasana ini, suasana obrolan menghabiskan malamku dengan Luna, Hmm.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun