Mohon tunggu...
Agung Mabruri
Agung Mabruri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

petani ikan yang sedang belajar jadi ayah yang baik bagi keempat putrinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Maling

21 Agustus 2013   13:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:01 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu minggu kemudian, rumahnya didatangi lagi tentara, polisi, pak lurah dan orang-orang yang tidak dikenalnya. Tetapi tidak ada sosok bapaknya. Pertanyaan soal keberadaan bapaknya tidak digubris. Orang-orang itu mengangkuti gamelan milik bapaknya. Hari berikutnya mereka kembali datang. Pertanyaannya juga tidak digubris. Kali ini mereka mengangkuti meja, kursi dan almari.

Selama lima hari mereka datang, dan selama lima hari pula kekayaan bapaknya hilang semua, tinggal rumah yang ditempai bersama simboknya. Lima hari pula mereka tidak menggubris pertanyaannya, seperti halnya simbok yang selalu tidak mau menjawabnya.

Lima tahun lamanya simbok memendam jawaban pertanyaannya. Beberapa hari sebelum meninggal, simbok menceritakan bapaknya ditangkap dan keberadaannya.

"Simbok tidak mau menjawab pertanyaanmu saat itu, karena simbok tidak ingin ada dendam dalam hatimu," kata Simbok memulai ceritanya.

"Bapakmu, lanjutnya,  ditangkap karena dicap anggota PKI. Kamu tahu, kan, PKI?" Karno Pacul mengangguk. Ia tahu dari guru yang menceritakan pemberontakan PKI, sambil menunjuk dirinya dengan kata-kata "dasar anak PKI". Ia tahu dari tetangga-tetangganya yang selalu meludah sambil berkata "PKI" saat berpapasan dengannya.

"Padahal, anakku, demi Allah, bapakmu bukan anggota PKI. Seperti yang kamu tahu, bapakmu sangat taat beribadah. Bapakmu tidak pernah meninggalkan sholat, puasa sunat senin-kamis, baca Quran tiap habis magrib dan subuh. Makanya bapakmu tidak pernah mau pentas saat siang hari, karena akan menyita waktu sholat dhuhur. Tanggapan di malam hari juga akan diakhiri sebelum waktu subuh. Bapakmu tidak pernah melakukan sesaji dan bakar kemenyan sebelum pentas. Musyrik, itu yang sering dikatakan bapakmu kepada orang-orang yang menanyakan kebiasaannya tidak sesaji dan bakar kemenyan."

"Lalu kenapa bapak dicap PKI?" tanya Karno Pacul.

"Bapakmu itu terlalu mencintai kesenian. Mungkin itu kesalahannya, anakku. Saking cintanya, bapakmu tetap akan pentas meskipun dibayar sekedarnya. Bapakmu juga akan menerima wiyogo dan orang-orang yang belajar jadi dalang atau menabuh gamelan, tanpa meneliti asal usulnya."

Beberapa hari sebelum ditangkap, Simbok melanjutkan ceritanya, bapakmu bercerita tentang pemberontakan PKI di Jakarta dan penangkapan anggotanya, termasuk anggota Lekra. Bapakmu tahu kejadian-kejadian itu dari cerita Kang Wagimin, si penabuh kendang. Menurut Kang Wagimin sebagian wiyogo menjadi anggota Lekra, seperti halnya Kang Wagimin. Orang-orang yang ngenger juga anggota Lekra. Makanya Kang Wagimin minta bapakmu sembunyi dulu sampai keadaan aman. Karena merasa bukan anggota Lekra,  bapakmu menolak untuk sembunyi.

"Tetapi nanti Mas Dalang akan dihubung-hubungkan dengan Lekra, karena banyak anggota Lekra jadi wiyogo disini," ujar Kang Wagimin memberikan alasan.

Bapakmu tetap bersikukuh tidak mau sembunyi. Bapakmu beranggapan jika ikut sembunyi berarti ia telah menjadi anggota Lekra. Anggota underbouwnya PKI. Haram bagi bapakmu mengikuti sikap orang-orang yang tidak mengakui dan mengikuti jalan Tuhan. Bapakmu baru sadar, ternyata para wiyogo yang selalu menolak saat diajak sholat subuh sehabis pertunjukan adalah anggota Lekra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun