Mohon tunggu...
Agung Mabruri
Agung Mabruri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

petani ikan yang sedang belajar jadi ayah yang baik bagi keempat putrinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Maling

21 Agustus 2013   13:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:01 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_282727" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/ Kampret (Yustinus Slamet)"][/caption]

Karno Pacul masih menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil berdiri tegak dengan tangan dikening, menghormat bendera Merah Putih, saat orang beramai-ramai mendatangi halaman rumahnya. Wajah keriputnya dibasahi air mata.

Ia masih menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil berdiri tegak dengan tangan di kening, menghormat bendera Merah Putih, saat orang-orang itu mulai berteriak-teriak "tangkap...tangkap....tangkap". Ia tetap tidak peduli. Ia malah mengencangkan suaranya yang parau untuk mengatasi suara orang banyak itu.

"Tegaaaaak grak," teriaknya memberi aba-aba kepada dirinya sendiri, layaknya komandan tentara memberi aba-aba pasukannya.

Teriakan Karno Pacul ini membuat orang yang berkerumun di halaman rumahnya tersentak. Kaget. Teriakan-teriakan itu terhenti. Mereka berpandangan satu sama lain. Tiba-tiba serombongan anak kecil berlarian di jalan mengejar ayam yang lepas dari kurungan, sambil berteriak, tangkap...ayo tangkap.

Teriakan anak-anak kecil itu membuat orang-orang yang berkerumun tersadar kembali. Tanpa ada yang mengkomando, mereka kembali berteriak, tangkap...tangkap...tangkap. Kali ini lebih menggemuruh dan memekakkan telinga.

Karno Pacul hanya pasrah ketika Harto Lurah dan babinsa desa memborgol kedua tanganya. Karno Pacul digelandang menuju kantor desa, diiringi gemuruh sorak-sorai orang banyak itu. Di belakangnya, anak-anak yang mengejar ayam juga bersorak-sorai berhasil menangkap ayam.

***

Sinar matahari pagi mulai menyengat.  Keringat yang mulai membasahi tubuh kurus Karno Pacul tak mampu ia seka. Kedua tangannya terikat patok kayu yang baru saja didirikan di tengah-tengah halaman kantor desa. Ia tidak mengeluh. Penderitaan hidup yang lebih berat sudah akrab dijalaninya. Siksaan fisik dan batin sudah jadi makanan sehari-hari hampir sepanjang hidupnya.

Masih segar dalam ingatan Karno Pacul, penderitaan demi penderitaan, siksaan demi siksaan mulai akrab dalam hidupnya sejak bapaknya, Sapin Dalang, ditangkap tentara akhir tahun 1965. Bapaknya dicap PKI. Masa kecil serba kecukupan hanya ia rasakan saat umurnya belum genap 10 tahun. Sebagai anak dalang terkenal, ia tidak pernah merasakan kekurangan makan. Rumahnya yang besar tiap malam bermandikan cahaya lampu petromak. Saat tidak ada tanggapan, rumahnya akan selalu riuh oleh gelak tawa para wiyogo.

Tetapi kebahagiaan masa kecil itu dicabut dengan paksa oleh tentara. Saat itu ia tidak mengerti kenapa bapaknya ditangkap. Yang ia tahu 10 tentara menangkap bapaknya yang hendak sholat magrib. Pertanyaan bapaknya yang menanyakan kenapa ditangkap, dijawab singkat "PKI" sambil menyarangkan pukulan dan tendangan. Tentara itu juga menempeleng dan menjambak rambutnya, saat ia merangkul tubuh bapaknya. Simbok hanya membisu dengan air mata mengalir di pipi. Karno Pacul menangis sejadi-jadinya dalam pelukan simbok. Saat itu, ia tidak tahu apa itu PKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun