[caption id="attachment_282727" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/ Kampret (Yustinus Slamet)"][/caption]
Karno Pacul masih menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil berdiri tegak dengan tangan dikening, menghormat bendera Merah Putih, saat orang beramai-ramai mendatangi halaman rumahnya. Wajah keriputnya dibasahi air mata.
Ia masih menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil berdiri tegak dengan tangan di kening, menghormat bendera Merah Putih, saat orang-orang itu mulai berteriak-teriak "tangkap...tangkap....tangkap". Ia tetap tidak peduli. Ia malah mengencangkan suaranya yang parau untuk mengatasi suara orang banyak itu.
"Tegaaaaak grak," teriaknya memberi aba-aba kepada dirinya sendiri, layaknya komandan tentara memberi aba-aba pasukannya.
Teriakan Karno Pacul ini membuat orang yang berkerumun di halaman rumahnya tersentak. Kaget. Teriakan-teriakan itu terhenti. Mereka berpandangan satu sama lain. Tiba-tiba serombongan anak kecil berlarian di jalan mengejar ayam yang lepas dari kurungan, sambil berteriak, tangkap...ayo tangkap.
Teriakan anak-anak kecil itu membuat orang-orang yang berkerumun tersadar kembali. Tanpa ada yang mengkomando, mereka kembali berteriak, tangkap...tangkap...tangkap. Kali ini lebih menggemuruh dan memekakkan telinga.
Karno Pacul hanya pasrah ketika Harto Lurah dan babinsa desa memborgol kedua tanganya. Karno Pacul digelandang menuju kantor desa, diiringi gemuruh sorak-sorai orang banyak itu. Di belakangnya, anak-anak yang mengejar ayam juga bersorak-sorai berhasil menangkap ayam.
***
Sinar matahari pagi mulai menyengat. Keringat yang mulai membasahi tubuh kurus Karno Pacul tak mampu ia seka. Kedua tangannya terikat patok kayu yang baru saja didirikan di tengah-tengah halaman kantor desa. Ia tidak mengeluh. Penderitaan hidup yang lebih berat sudah akrab dijalaninya. Siksaan fisik dan batin sudah jadi makanan sehari-hari hampir sepanjang hidupnya.
Masih segar dalam ingatan Karno Pacul, penderitaan demi penderitaan, siksaan demi siksaan mulai akrab dalam hidupnya sejak bapaknya, Sapin Dalang, ditangkap tentara akhir tahun 1965. Bapaknya dicap PKI. Masa kecil serba kecukupan hanya ia rasakan saat umurnya belum genap 10 tahun. Sebagai anak dalang terkenal, ia tidak pernah merasakan kekurangan makan. Rumahnya yang besar tiap malam bermandikan cahaya lampu petromak. Saat tidak ada tanggapan, rumahnya akan selalu riuh oleh gelak tawa para wiyogo.
Tetapi kebahagiaan masa kecil itu dicabut dengan paksa oleh tentara. Saat itu ia tidak mengerti kenapa bapaknya ditangkap. Yang ia tahu 10 tentara menangkap bapaknya yang hendak sholat magrib. Pertanyaan bapaknya yang menanyakan kenapa ditangkap, dijawab singkat "PKI" sambil menyarangkan pukulan dan tendangan. Tentara itu juga menempeleng dan menjambak rambutnya, saat ia merangkul tubuh bapaknya. Simbok hanya membisu dengan air mata mengalir di pipi. Karno Pacul menangis sejadi-jadinya dalam pelukan simbok. Saat itu, ia tidak tahu apa itu PKI.
Satu minggu kemudian, rumahnya didatangi lagi tentara, polisi, pak lurah dan orang-orang yang tidak dikenalnya. Tetapi tidak ada sosok bapaknya. Pertanyaan soal keberadaan bapaknya tidak digubris. Orang-orang itu mengangkuti gamelan milik bapaknya. Hari berikutnya mereka kembali datang. Pertanyaannya juga tidak digubris. Kali ini mereka mengangkuti meja, kursi dan almari.
Selama lima hari mereka datang, dan selama lima hari pula kekayaan bapaknya hilang semua, tinggal rumah yang ditempai bersama simboknya. Lima hari pula mereka tidak menggubris pertanyaannya, seperti halnya simbok yang selalu tidak mau menjawabnya.
Lima tahun lamanya simbok memendam jawaban pertanyaannya. Beberapa hari sebelum meninggal, simbok menceritakan bapaknya ditangkap dan keberadaannya.
"Simbok tidak mau menjawab pertanyaanmu saat itu, karena simbok tidak ingin ada dendam dalam hatimu," kata Simbok memulai ceritanya.
"Bapakmu, lanjutnya, ditangkap karena dicap anggota PKI. Kamu tahu, kan, PKI?" Karno Pacul mengangguk. Ia tahu dari guru yang menceritakan pemberontakan PKI, sambil menunjuk dirinya dengan kata-kata "dasar anak PKI". Ia tahu dari tetangga-tetangganya yang selalu meludah sambil berkata "PKI" saat berpapasan dengannya.
"Padahal, anakku, demi Allah, bapakmu bukan anggota PKI. Seperti yang kamu tahu, bapakmu sangat taat beribadah. Bapakmu tidak pernah meninggalkan sholat, puasa sunat senin-kamis, baca Quran tiap habis magrib dan subuh. Makanya bapakmu tidak pernah mau pentas saat siang hari, karena akan menyita waktu sholat dhuhur. Tanggapan di malam hari juga akan diakhiri sebelum waktu subuh. Bapakmu tidak pernah melakukan sesaji dan bakar kemenyan sebelum pentas. Musyrik, itu yang sering dikatakan bapakmu kepada orang-orang yang menanyakan kebiasaannya tidak sesaji dan bakar kemenyan."
"Lalu kenapa bapak dicap PKI?" tanya Karno Pacul.
"Bapakmu itu terlalu mencintai kesenian. Mungkin itu kesalahannya, anakku. Saking cintanya, bapakmu tetap akan pentas meskipun dibayar sekedarnya. Bapakmu juga akan menerima wiyogo dan orang-orang yang belajar jadi dalang atau menabuh gamelan, tanpa meneliti asal usulnya."
Beberapa hari sebelum ditangkap, Simbok melanjutkan ceritanya, bapakmu bercerita tentang pemberontakan PKI di Jakarta dan penangkapan anggotanya, termasuk anggota Lekra. Bapakmu tahu kejadian-kejadian itu dari cerita Kang Wagimin, si penabuh kendang. Menurut Kang Wagimin sebagian wiyogo menjadi anggota Lekra, seperti halnya Kang Wagimin. Orang-orang yang ngenger juga anggota Lekra. Makanya Kang Wagimin minta bapakmu sembunyi dulu sampai keadaan aman. Karena merasa bukan anggota Lekra, bapakmu menolak untuk sembunyi.
"Tetapi nanti Mas Dalang akan dihubung-hubungkan dengan Lekra, karena banyak anggota Lekra jadi wiyogo disini," ujar Kang Wagimin memberikan alasan.
Bapakmu tetap bersikukuh tidak mau sembunyi. Bapakmu beranggapan jika ikut sembunyi berarti ia telah menjadi anggota Lekra. Anggota underbouwnya PKI. Haram bagi bapakmu mengikuti sikap orang-orang yang tidak mengakui dan mengikuti jalan Tuhan. Bapakmu baru sadar, ternyata para wiyogo yang selalu menolak saat diajak sholat subuh sehabis pertunjukan adalah anggota Lekra.
Sejak kedatangan Kang Wagimin, bapakmu tidak pernah keluar rumah. Setiap hari bapakmu menghatamkan Al quran satu kali. Jangan heran, anakku, bapakmu itu pernah nyantri dan hafal quran. Kamu tahu kepada keluarga sendiri bapakmu sangat keras soal agama. Sudah tak terhitung, kan, kamu dijewer kalau menunda-nunda sholat? Sedangkan niat bapakmu menjadi dalang sebenarnya bukan untuk mencari kekayaan, tetapi sebagai jalan dakwah. Tetapi ternyata tidak mudah berdakwah lewat budaya, terbukti bapakmu tidak bisa mengajak semua wiyogonya mengikuti jalan Tuhan.
Bapakmu juga berpesan jika nanti benar-benar ditangkap agar diterima dengan ikhlas, tidak boleh menaruh dendam kepada para penangkap. Tidak boleh membenci para pemimpin dan tetap mencintai negara ini.
* * *
Karno Pacul masih bersembunyi di balik gerumbul ilalang di belakang kantor desa. Sorot lampu neon yang menerangibelakang kantor desa tak mampu menembus lebatnya gerumbul ilalang. Orang-orang yang lalu lalang mengangkut makanan dan minuman di belakang kantor desa yang difungsikan dapur, juga tidak menyadari kehadirannya.
Malam makin larut. Tidak terdengar lagi gelak tawa orang-orang yang tirakatan di halaman kantor desa. Orang-orang yang bertugas di dapur juga sudah mulai meninggalkan halaman belakang kantor desa. Karno Pacul masih tidak beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia masih menunggu para hansip yang jaga di kantor desa tidur. Ia tahu pasti, sehabis digelar tirakatan 17 Agustus, para hansip akan tidur ngorok, lupa kewajibannya menjaga keamanan kantor desa.
Karno Pacul berjalan mengendap-endap keluar dari persembunyiannya. Setelah memastikan para hansip tidur, ia menuju tiang bendera. Dengan tangan gemetar Karno Pacul melepas ikatan tali di tiang bendera. Sambil menengok kiri kanan, masih dengan tangan gemetar Karno Pacul mulai menurunkan bendera merah putih, yang belum pernah diturunkan sejak setahun lalu.
Setelah melipat bendera itu, Karno Pacul segera lari. Pulang ke rumahnya. Pikirannya gelisah. Hatinya tidak tenang. Baru sekali ini ia mencuri, itu pun karena ia sudah tidak sanggup lagi menahan malu tiap tanggal 17 Agustus selalu dipermalukan di kantor desa, dihadapan seluruh warga desa, karena tidak pernah mengibarkan bendera merah putih. Karno Pacul tidak pernah mengibarkan bendera karena tidak punya cukup uang untuk membeli bendera. Terlebih dulu, saat penghasilannya sebagai pembuat tangkai cangkul laris, ia setiap tahun selalu mengibarkan bendera. Dan setiap tahun pula bendera itu dirampas, dengan alasan anak PKI tidak boleh ikut mengibarkan bendera. Sejak saat itu ia tidak lagi mengibarkan bendera, apalagi penghasilannya sekarang sudah tidak menentu.
Menjelang subuh ia berketetapan mengembalikan bendera curian itu ke kantor desa. Untung para hansip masih tidur ngorok. Bendera itu diletakkannya disamping para hansip yang tidur. Sesampai di rumah, Karno Pacul kaget setengah mati, saat di depan rumahnya berdiri dengan gagah tiang bendera dan bendera merah putih bertengger di pucuknya. Ia tersungkur mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Pagi harinya kantor desa geger. Hansip yang akan menurunkan bendera tidak melihat lagi bendera di atas tiang berkibar, padahal akan dikibarkan lagi saat peringatan kemerdekaan siang harinya. Harto Lurah, yang oleh orangtuanya, Wagimin, diberi nama Suharto, marah besar.
Diiringi para hansip, Harto Lurah berjalan menuju rumah Karno Pacul, yang nama aslinya Sukarno. Embel-embel pacul diperolehnya karena ia pembuat tangkai pacul. Para hansip berteriak-teriak mengajak warga ikut mendatangi rumah Karno Pacul.
Simbok (jawa) = Ibu
Wiyogo (jawa) = penabuh gamelan
Pacul (jawa) = Cangkul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H