***
SELEPAS KERJA, kadang aku mampir ke tempat tinggal Hamza, sembari menunggu kereta sedikit lega. Kadang juga aku menginap di tempatnya. Kemalaman karena asyik berdiskusi.
Ia tinggal di kampung di belakang kompleks taman kesenian. Untuk sampai di rumah kosnya, kau harus melewati jalan sempit berkelok-kelok. Aku sempat bertanya, kenapa ia memilih tinggal di tempat itu. Hidup di Ibu Kota kau harus kreatif, jawabnya. Salah satunya kreatif memilih tempat tinggal murah.
Kamar kosnya hanya seukuran 3 x 3 meter. Kamar mandi berada di luar. Perkakas yang ia miliki hanya ada satu boks lima susun kecil tempat bajunya, meja kecil, kasur yang cukup untuk satu orang, tikar, dan kipas angin kecil yang sebenarnya cuma berfungsi untuk memutar udara di dalam ruangan. Bisa dibayangkan bila tak ada kipas kecil itu, udara bakal sumpek, apalagi bila asap rokok sudah mengepul.
Untuk ukuran lulusan sekolah menengah, koleksi bukunya lumayan banyak. Dan aneh-aneh. Mungkin karena ia sudah lama bekerja di perpustakaan, ia jadi tahu banyak tentang buku-buku.
Ia punya buku Hikayat Amir Hamzah, Arus Balik karya Pramoedya, dan Trilogi Roro Mendut-nya Romo Mangun. Tiga buku tebal yang semuanya bertemakan sejarah. Lulusan SMA sudah tahu buku seperti ini, gumamku dalam hati. Sisanya macam-macam buku, dari buku puisi, cerpen, biografi, dan anehnya ada buku perguruan tinggi jurusan ilmu hukum.
Buku-buku sastra dan biografi berserakan tak keruan. Cuma buku hukum saja yang rapi di sudut ruangan di dalam kardus kecil. Tanda bahwa buku itu lama tak dibaca.
"Selera bukumu berat-berat juga," kataku. "Bahkan, ada buku untuk mahasiswa hukum."
Ia hanya terkekeh. "Ketahuan juga," katanya. "Dulu. Dulu sekali, aku memang pernah kuliah di jurusan hukum," ujarnya lagi. "Setahun. Setelah itu aku kabur."
"Kabur?"
"Aku tidak suka. Jurusan itu dipilih oleh ayahku. Baru setahun berjalan, aku memutuskan untuk tidak lagi kuliah."