Ia sedikit terkekeh. "Bagaimana kau ini? Kau kan anak sastra, tingkat akhir pula, masak kau tak pernah mendengar Hamzanama." ujarnya menimpali.
Aku menggelengkan kepala. "Tapi, aku benar-benar tak tahu. Nama itu asing," kataku lagi. "Nama sebenarnya?"
"Apa pentingnya itu nama sebenarnya dan nama samaran." Ia mengambil sebatang rokok.
Saat itu, setelah kami selesai makan siang bersama pegawai lainnya, kami memang biasa menyesap sebatang rokok di halaman belakang.
"Kau tahu Hikayat Amir Hamzah? Jangan-jangan kau tidak tahu juga?" Ia mulai menyalakan rokoknya.
"Aku pernah dengar. Tapi, aku tak pernah membaca. Ya, aku memang ambil jurusan sastra, tapi aku tak meminati sastra klasik. Jadi, aku tak mendalaminya. Aku tahu sedikit, itu pun cuma rangkuman."
"Kau anak sastra yang payah. Kalah dengan lulusan SMA."
"Tapi, kau sudah lama bekerja di sini. Wajarlah kau lebih tahu," timpalku.
"Bisa saja berkelit." Ia kembali mengembuskan asap rokoknya. Memain-mainkan batang rokoknya di jari-jarinya.
"Waktu kecil, ibuku selalu mendongengkan Hikayat Amir Hamzah sebelum tidur. Tentu dengan bahasa sekarang. Kadang juga diselingi dengan cerita Seribu Satu Malam. Tepatnya, ibu selalu menceritakan kepada kami berdua sebelum kami tidur."
"Kami berdua? Kau punya saudara?"