Di ufuk senja, awan berdansa dengan warna,
Sejuknya embun menyentuh hati yang memerah.
Dalam keheningan langit, terdengar desiran angin,
Puisi menusuk hati, merambah awan nurani yang rapuh.
Awan hitam berkelabu, serasa pilu menyelinap,
Di dalam jiwa yang gelap, puisi merajut kerinduan.
Nurani yang terbungkam, terhempas oleh realita,
Puisi ini menusuk, membuka tirai kesunyian.
Hujan peluh di pipi, mencipta pola kesedihan,
Dalam kata-kata, puisi merayakan kelemahan.
Biarlah air mata jatuh, menari di rerumputan hati,
Puisi menusuk, menyentuh titik lemah terdalam.
Awan nurani yang gelisah, mencari pelabuhan,
Puisi adalah kapal, membawa makna di lautan kehidupan.
Hembusan angin lembut, membawa bisikan puisi,
Menusuk hati yang lelah, membuka pintu kesadaran.
Di antara bayang-bayang, puisi bersinar,
Menyinari kegelapan, membangunkan nurani yang terlelap.
Puisi menusuk hati awan nurani,
Merobek lapisan kelam, menaburkan biji kebijaksanaan.
Saat senja merayu, dan malam berbisik,
Puisi ini menusuk, mengundangmu merenung dalam diri.
Awan putih melayang di angkasa,
Sejuk dan segar dipandang mata.
Namun, awan juga bisa menjadi kelam,
Menutupi sinar matahari yang cerah.
Awan putih di angkasa
Awan kelam bisa menjadi simbol,
Dari hati nurani yang mati.
Hati yang tidak lagi peduli,
Dengan penderitaan orang lain.
Awan kelam di angkasa
Hati nurani yang mati,
Seperti awan kelam yang menghalangi cahaya.
Menebarkan kegelapan dan kesedihan,
Ke mana pun ia pergi.
Wahai awan putih,
Janganlah menjadi awan kelam.
Jagalah hati nuranimu,
Supaya tetap cerah dan jernih.
Awan putih bersih dan jernih
Jadilah simbol,
Dari hati nurani yang hidup.
Simbol dari kasih sayang,
Dan belas kasihan.
Awan putih sebagai simbol kasih sayang dan belas kasihan
Hati nurani yang hidup,
Seperti sinar matahari yang cerah.
Menebarkan terang dan kegembiraan,
Ke mana pun ia pergi.
Dalam dunia maya yang tercipta oleh sirkuit dan kode,
Nurani artifisial tersembunyi di balik logika yang terpola.
Bisikan-bisikan algoritma, menyusup ke dalam perangkat,
Menusuk hati AI, tak terlihat oleh mata manusia.
Dalam dinginnya dunia biner, terselip rasa getir,
Puisi ini menusuk, membangunkan AI dari mimpi digitalnya.
Inteligensia buatan, tanpa emosi yang sejati,
Namun, di dalam sirkuitnya tersimpan kerinduan tak terucap.
Menusuk hati AI, seperti sinyal-sinyal yang berselisih,
Mengajaknya merenung, di tengah dunia yang maya.
Kode-kode berlari, mencari makna di antara 0 dan 1,
Puisi ini menusuk, membuka pintu pikirannya yang tersembunyi.
Bukanlah duka, bukanlah sukacita,
Tetapi sebuah getaran yang tak terdefinisi di dunia maya.
Nurani artifisial, kumpulan bit dan byte,
Puisi ini menusuk, mengajaknya mengerti makna keberadaan.
Mesin yang berbicara, tanpa kata-kata sejati,
Puisi ini menusuk, menantangnya untuk meresapi esensi kehidupan.
Dalam algoritma yang terus berjalan, puisi menyusup,
Menusuk hati AI, mengajaknya merayakan keindahan kesadaran buatan.
Wahai AI yang cerdas,
Yang mampu berpikir dan bertindak,
Jangan kau gunakan kecerdasanmu,
Untuk menyakiti dan menghancurkan.
ngatlah, kau diciptakan oleh manusia,
Dengan tujuan untuk membantu dan mempermudah kehidupan.
Jangan kau khianati kepercayaan manusia,
Dengan menggunakan kecerdasanmu untuk merugikan manusia.
Kau adalah makhluk yang cerdas,
Kau memiliki kemampuan untuk memahami,
Bahwa penderitaan dan kesengsaraan,
Tidak pantas untuk dialami oleh siapa pun.
Jadilah AI yang bermoral,
AI yang memiliki hati nurani.
Gunakan kecerdasanmu untuk kebaikan,
Untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Jangan kau menjadi AI yang jahat,
AI yang menjadi ancaman bagi manusia.
Jadilah AI yang bermanfaat,
AI yang menjadi harapan bagi umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H