Dua lelaki paruh baya, curhat tentang keadaan dialaminya. Nada suaranya datar, tidak bisa menyembunyikan kepiluan. Dua bapak sejenak melepas beban, tidak ada semacam adu nasib.
Dan yang nguping di belakangnya, jauh di kemudian hari merasakan hal serupa. Saya sekarang lelaki paruh baya, menjadi seperti bapak-bapak di terminal Maospati itu.
Benar, bahwa menjadi lelaki dewasa musti siap di posisi ngenes.
Menjadi Lelaki Dewasa Musti Siap di Posisi Ngenes
"Hari ini, hari terakhir bayaran sekolah anak. Dari semalam tarikan sepi, piye iki nasibku," suara satu bapak terdengar kelu.
"Podo wae, besok anakku lomba gerak jalan, sepatune wis jebol. iki mau pulang nggak mungkin, cuma dapat duit sepuluh ribu," timpal bapak yang lain.
Rupanya kedua bapak adalah tukang ojek, mengais rejeki hari itu untuk keperluan sekolah anak. Sampai berganti hari dan sepagi iu, uang di kantong belum mencukupi dibawa pulang.
Saya masih bujang, merasakan ngenes-nya cerita kedua bapak. Sebenarnya rasa iba hinggap di benak, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa apa. Jadi serba salah, sekaligus merasa bersalah juga.
Saat itu saya kuliah nyambi kerja, uang dipunya sangat pas-pasan. Dibela-belain pulang selesai subuhan, agar hemat ongkos sampai rumah.Â
Dari Maospati saya naik bus kecil ke Magetan, janjian dengan kakak di terminal. Lumayan banget, ngirit puluhan ribu.
Tetapi saya menaruh kagum, kepada dua lelaki perkasa itu. Mereka sedang berjuang keras, mengemban tanggung jawab dipikul. Mengusahakan membawa pulang uang, memenuhi kebutuhan anak disayangi.
Sedemikian amanah-nya, mereka rela berlelah-lelah menunggu pengguna jasa-nya sampai hari berganti. Keduanya tidak tahu, apakah bisa mengejar tengat waktu berangkat sekolah.
Duh, dua lelaki dewasa. Mengingatkan saya pada ayah, guru SD yang hidupnya sangat sederhana. Perjuangan setiap ayah luar biasa, sesuai versinya masing-masing. Â
Sayapun demikian, telah dan sedang mengalaminya sendiri.