Sewaktu merantau di Surabaya --medio 90-an--, saya suka mudik (pulang pergi) dalam sehari. Dengan bus menempuh waktu lima jam, tidak terlalu capek untuk anak muda duapuluh-an tahun awal.
Biasanya setengah sebelas malam, sudah standby di terminal Bungurasih. Badan gesit ini sat set, sangat piawai berburu kursi kosong. Naik Jurusan Solo- Jogja, merem sepanjang perjalanan.Â
Menjelang subuh turun terminal Maospati, menunggu beberapa waktu sampai terdengar adzan.Â
Untuk balik ke Surabaya, tinggal dibalik rutenya. Lebih fleksibel, karena transportasi umum nyaris 24 jam beroperasi.
----
Suasana terminal Maospati belum terlalu ramai, angkot dan bus kecil pertama belum beroperasi. Masa itu belum ada transportasi online, jadi musti sabar menunggu.
Sementara di pasar sebelah terminal, pedagang sayur dan warung kopi buka terlebih dahulu. Saya menuruti kata hati, mau nongkrong atau tiduran di serambi masjid terminal. Bebas sebebasnya, toh pergi sendirian dan bujangan ini.
Pagi itu maunya rebahan, di kursi tunggu penumpang. Kursi kayu panjang dengan sandaran, cukup diduduki tiga atau empat orang. Kaki kursi dipaku dengan lantai, tidak bisa digeser sesuka hati.
Jarak antar kursi tidak jauh, terdengar nyaring dengkuran orang tidur di sebelah. Atau kalau ada yang ngobrol, mau tidak mau telinga ikut mendengar. Kalau masih ngantuk tak peduli gangguan, mata dimerem- meremkan sebisanya.
Tetapi pagi itu ada yang beda, terdengar obrolan menyentuh. Dua bapak duduk di depan saya, jeda satu kursi dari tempat rebahan. Apa yang diobrolkan, saya bisa mencuri dengar.