Kalau memang jalan takdir, mengantarkan pada situasi demikian. Tidak ada larangan, menikmati kesenangan dunia.Â
Meski sebaiknya tetap ada batasan, dan jangan sampai berlebih-lebihan. Karena fakta kepemilikan bendawi, bukan seratus persen jaminan bahagia.
Sewaktu tinggal di rumah kontrakan, kami berseberangan agak serong dengan rumah megah. Pemiliknya suami istri yang sangat baik, dengan pekerjaan yang keren. Dari selera desain rumah dan gaya hidup, saya bisa menakar seberapa berada-nya mereka..
Suami istri dengan perawakan good looking, rumahnya di posisi hook. Kerap kali terdengar, acara rame-rame di kebun belakang rumah. Kami yang berdekatan, kerap kebagian hantaran makanan.
Rumah tangga yang -- di mata saya---sempurna, diisi pasangan suami istri yang ideal. Anak-anaknya cantik dan ganteng, apapun yang dipakai sangatlah menawan.
Hingga suatu hari saya dibuat kaget, mendengar pasangan ini hendak berpisah. Rumah dan segala perabot dijual, bahkan sampai diobral-obral. Lagi-lagi kami -- para tetangga- kebagian aneka perabot masih bagus, dilepas dengan harga sangat miring.
Penyebabnya terkuak, bahwa si suami hendak menikah lagi. Konon istri mudanya, adalah bawahan di kantor sang istri. Sejak berita itu tersiar, gemebyar rumah mewah perlahan redup. Aura suka cita dan kebiasaan pesta, tak terdengar suaranya.
Satu persatu barang dijual, bahkan hingga rumah dan seisinya dilepaskan. Istri pertama bertekad, menghapus segala hal tentang lelaki yang pernah dicintai.
Saya dan istri sangat menyayangkan, seharusnya mereka tidak berpisah. Toh, segala harta benda -- yang diidamkan banyak orang---sudah ada di tangan. Pekerjaan mentereng dan status sosial, telah ada digenggaman.
Tetapi bukti berkata lain, semua kepemilikan itu tak menjamin kebahagiaan. Ada hal lain yang lebih esensi, adalah kesetiaan, adalah sikap saling memiliki dan menghargai.