Saya kaget sekagetnya, melihat ibu tersungkur sambil menangis keras. Sementara ayah yang masih emosi, meluapkan marah dengan suara bernada tinggi.
Kejadian saya lihat tidak berlangsung lama, karena musti berangkat sebelum terlambat. Pun ibu dan ayah, masing-masing harus lekas keluar rumah.
Tetapi sangat membekas, saya bisa mengingatnya sampai sekarang. dan yang sangat unik, justru setelah kejadian pagi itu. Siang harinya suasana rumah sempat kaku, ayah dan ibu tak bertegur sapa.
Baru keesokan hari, tanpa saya tahu siapa memulai keduanya sudah baikan. Ibu menyediakan sarapan seperti biasa, ayah makan dan berangkat dengan suasana damai.
Pelajaran saya dapatkan dari kejadian itu, adalah jangan berlama-lama memendam amarah. Karena pasangan kita bukan musuh, yang harus selalu diingat kesalahannya.
Kalaupun memang nyata-nyata salah, sebaiknya diingatkan agar tidak diulang di kemudian hari. Bahwa cinta bukan sekadar tentang rasa, tapi juga menyediakan diri menjadi lebih dewasa. Setiap kesalahan untuk diperbaiki, bukan pergi dan cari pengganti.
Sebesar Apapun Tengkar Jangan Bubar
Mereka yang saling mencintai tidak cukup dengan setia, tapi mereka juga telah sekesai dengan kepentingan ego dan masa lalunya. Mereka sama --sama bersyukur dipertemukan dengan versi yang telah berdamai dengan luka, sehingga untuk memulainya kembali sudah tidak ada lagi yang namanya ingin menang sendiri.
Saya sangat menyepakati, bahwa kehidupan pernikahan sangat challenging. Tetapi di balik itu, saya merasakan dampak dari proses luar biasa. Semesta seolah membukakan hikmah, yang tidak saya dapati kalau tidak menikah.
Misalnya bersedia mengalah semengalah-ngalahnya, mengutamakan istri dan anak-anak. Padahal di saat bersamaan, saya sendiri memerlukan hal tersebut.Â
Mungkin cerita semisal, pernah saya tuliskan di beberapa artikel sebelumnya di kompasiana. Kisah nyata saya alami, sekilas menyiksa diri tapi membuahkan bahagia yang unik.