"Namanya anak-anak, kalau salah ya wajar. Harusnya yang sudah tua, menegur mengingatkan baik-baik,"Â kalimat bapak terdengar sengit.
Suatu hari, saya mendapati bapak dan ibu sedang ribut. Soal kakak tengah, yang perilakunya tidak dibenarkan oleh ibu. Sikap kepada saudara jauh, dianggap ibu bisa mencoreng orangtua. Saat ibu mengomel, bapak terus mementahkan pandangan istrinya.
Saya melihat dengan jelas, ada senyum tipis di bibir kakak. Meskipun masih kecil, saya bisa merasakan gemuruh di dada kakak. Ada sorak sorai kemenangan, mendapatkan pembelaan dari bapaknya.
Sebenarnya, situasi demikian bukan satu dua kali saya temui. Saya cukup hapal bapak, yang selalu pasang badan saat anaknya disalahkan. Terkhusus anak mbarep dan tengah, lebih disayang dan diperhatikan.
Saya bungsu, merasakan perbedaan sikap itu. Saat saya menangis kejer, karena keisengan kakak tengah. Malahan saya diminta mengalah, sikap tidak setuju saya tidak berpengaruh.
Ketidaksetujuan yang tak tersampaikan, hanya bisa dipendam rapat. Sesekali kalau ngobrol dengan ibu, saya utarakan. Tetapi ibu sama, menenangkan dan minta saya bersabar. Sungguh tidak masuk ke logika saya, memahami situasi yang berlangsung.
Sampai jauh di kemudian hari, setelah bapak berpulang ke alam baqa. Satu demi satu jawaban terkuak, membukakan mata hati ini dalam-dalam.Â
Seketika saya berbalik sikap, menjadi pendukung nomor satu. Sangat maklum dan mengamini, alasan bapak bersikap demikian.
Apalagi setelah menjadi ayah, saya merasakan ada yang tidak lazim pada sudut pandang ayah. Bahwa bahagianya ayah adalah bahagia yang unik.
Saya yakin, Kompasianer yang sudah menjadi ayah, akan sepakat soal ini.
----
Sikap bapak, yang tidak saya paham --Â saat saya kecil. Ketika membeli motor buntut --itupun dengan kredit--, dia sendiri sangat jarang memakainya. Motor itu dibelikan untuk mbarep-nya, yang sedang kuliah di kota.
Sementara bapak, memilih jalan kaki untuk berangkat pulang mengajar. Padahal jarak rumah ke sekolah, sekitar 4 -- 5 Km. Sekolah tempat mengajar bapak, di desa tetangga yang sudah beda kelurahan.
Pada bulan puasa selepas ashar, saya bermain pingpong sendiri. Memantulkan bola ke dinding, menghitung sampai angka tertentu. Saya berjanji pada diri, kalau mencapai angka limapuluh akan berbuka dengan kolak buatan ibu.
Tiba-tiba kakak tengah nongol, iseng menghalangi permainan. Hitungan tidak sesuai target, pecahlah tangis saya. Seketika mengingat janji, saya tidak jadi berbuka dengan kolak. Kakak tengah berlari kabur, terdengar tertawa puas yang mengejek.
Ayah datang, memastikan janji saya tidak berlaku. Karena tanpa saksi, yang tidak bisa memberatkan. Dan sikap bapak pada kakak, seolah tidak terjadi apa-apa. Meski tidak puas dengan situasi itu, saya memilih tidak memperpanjang.
-----
Atas perasaan mengganjal, yang dipendam sedari kecil. Sepeninggal bapak, sedikit demi sedikit saya mendapatkan jawaban. Ibu membuka tabir, mengapa bapak sebegitu sayang pada anak -- terkhusus -- mbarep dan anak tengah.
Pada anak yang lain---termasuk saya---, sebenarnya bapak juga sayang. Hanya berbeda cara mengekspresikan, berbeda cara menyampaikan.
Ketika anak mbarep lahir, badannya kecil -- kata tetangga-- sebesar botol kecap. Konon si anak pertama, tidur bersebelahan lampu petromak. Agar badannya hangat, sehingga tidurnya nyenyak.
Sebagai bapak muda, rasa sayang itu bertumbuh sedemikian hebatnya. Anak pertama yang didamba, dikasihi sepenuh hati. Tanpa sadar sayang yang berlebihan itu, dirasakan anak lainnya.
Kejadian semisal terjadi, saat anak tengah lahir. Semasa balita sering sakit-sakitan, saat umur lima tahun jatuh kepalanya sobek. Bisa dibilang, anak tengah ketinggalan soal pelajaran di sekolah.
Bapak memberi perhatian yang lebih, pada anaknya yang satu ini. Bahkan sampai dewasa dan menikah, bapak tidak lepas tangan. Sebisanya berada di garda terdepan, ketika ada apa-apa dengan anak tengah.
Kilas balik masa lalu dibongkar ibu, seketika membukakan mata batin saya. Bahwa tidak ada seorang ayah, yang ingin berlaku tidak adil. Semua yang terjadi situasional, dan ayah musti memilih sikap yang ideal.
Mengutamakan anak yang lebih membutuhkan bantuan, sembari melepaskan anak lain yang dianggap mampu mandiri. Mungkin menjadi sikap dilematis, risikonya sudah diperkirakan bapak.
Bapak dengan segala keterbatasan, tetaplah berusaha mempersembahkan sikap seideal mungkin. Bapak tetap manusia biasa, yang tidak lepas dari kesalahan. Tetapi, bahwa bahagianya ayah adalah bahagia yang unik. Demikianlah adanya.
Bahwa Bahagianya Ayah adalah Bahagia yang Unik
Saya pernah, suatu hari hadir di sebuah event. Mendapat jatah snack dan nasi kotak, saat dibuka saya menahan diri memakannya. Pasalnya ada puding, makanan kegemaran anak wedok. Bersanding risol kesukaan istri, tinggal lemper untuk saya makan.
Kejadian serupa terulang, ketika membuka nasi kotak. Lauk rendang kesukaan anak lanang, berbagi ruang dengan sedikit cap cay dan tempe orek. Reflek saja disisihkan rendang, saya makan selebihnya (nasi- cap cay- tempe orek).
Jujurly, kenyangnya tidak nendang. Tetapi membayangkan senyum istri dan anak-anak, cukuplah menahan rasa lapar. Pada saat memutuskan hal ini, saya teringat almarhum bapak.
Bahwa kewajaran-kewajaran sikap bapak, akan sulit dipahami. Sebelum diri sendiri merasakan, berada di posisi menjadi ayah. Dan kini, saya menyandang predikat ayah. Peran yang menuntut, saya bersikap seperti sikap bapak dulu.
Meski terlihat getir, meski terlihat menyiksa diri, tetapi ada perasaan yang unik. Ya, kebahagiaan, yang didapatkan dengan cara -- seolah---tidak membahagiakan.
-----
Layaknya para ayah pada umumnya, kerepotan berumah tangga pernah saya alami. Kelimpungan memenuhi bulanan sekolah anak, di saat keuangan sedang menipis. Berjibaku menutupi iuran listrik, setelah datang surat pemberitahuan pemutusan aliran listrik.
Bayangan terbesar, saat berada di situasi terdesak. Adalah wajah sedih istri dan anak-anak, kalau kewajiban itu tidak segera tertunaikan. Sekolah anak tidak akan jenak, sebelum uang bulanan dilunasi. Istri dan anak tidak nyaman di rumah, kalau aliran listrik diputus dan apalagi kekurangan air.
Keadaan yang memacu adrenalin, saya rela melakukan apapun. Selama menempuh cara halal, saya siap mengerjakan apapun. Untuk menuntaskan semua kebutuhan, menerbitkan senyum orang-orang tersayang.Â
Meski ayah harus berkorban habis-habisan, sampai tidak memikirkan diri sendiri. Tetapi meski melalui segala ketidakenakan, justru ayah bisa menemukan bahagia sejati.
Memang, bahwa bahagianya ayah adalah bahagia yang unik.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H