Sikap bapak, yang tidak saya paham --Â saat saya kecil. Ketika membeli motor buntut --itupun dengan kredit--, dia sendiri sangat jarang memakainya. Motor itu dibelikan untuk mbarep-nya, yang sedang kuliah di kota.
Sementara bapak, memilih jalan kaki untuk berangkat pulang mengajar. Padahal jarak rumah ke sekolah, sekitar 4 -- 5 Km. Sekolah tempat mengajar bapak, di desa tetangga yang sudah beda kelurahan.
Pada bulan puasa selepas ashar, saya bermain pingpong sendiri. Memantulkan bola ke dinding, menghitung sampai angka tertentu. Saya berjanji pada diri, kalau mencapai angka limapuluh akan berbuka dengan kolak buatan ibu.
Tiba-tiba kakak tengah nongol, iseng menghalangi permainan. Hitungan tidak sesuai target, pecahlah tangis saya. Seketika mengingat janji, saya tidak jadi berbuka dengan kolak. Kakak tengah berlari kabur, terdengar tertawa puas yang mengejek.
Ayah datang, memastikan janji saya tidak berlaku. Karena tanpa saksi, yang tidak bisa memberatkan. Dan sikap bapak pada kakak, seolah tidak terjadi apa-apa. Meski tidak puas dengan situasi itu, saya memilih tidak memperpanjang.
-----
Atas perasaan mengganjal, yang dipendam sedari kecil. Sepeninggal bapak, sedikit demi sedikit saya mendapatkan jawaban. Ibu membuka tabir, mengapa bapak sebegitu sayang pada anak -- terkhusus -- mbarep dan anak tengah.
Pada anak yang lain---termasuk saya---, sebenarnya bapak juga sayang. Hanya berbeda cara mengekspresikan, berbeda cara menyampaikan.
Ketika anak mbarep lahir, badannya kecil -- kata tetangga-- sebesar botol kecap. Konon si anak pertama, tidur bersebelahan lampu petromak. Agar badannya hangat, sehingga tidurnya nyenyak.
Sebagai bapak muda, rasa sayang itu bertumbuh sedemikian hebatnya. Anak pertama yang didamba, dikasihi sepenuh hati. Tanpa sadar sayang yang berlebihan itu, dirasakan anak lainnya.