Misalnya ulang tahun anaknya yang SMA, kami dikirimi kue. Atau saat bulan Ramadan, tetangga dibagi takjil untuk berbuka.
Suatu hari saya dibuat kaget, membaca tulisan "Rumah Dijual" yang ditempel di pagar. Bahkan semua isinya diobral, aneka perabot, gorden, mainan anak, nyaris semua didalam rumah dihabiskan.Â
Tetangga yang membeli bebas menawar, istri dan ibu mertua memborong gorden dengan harga sangat miring.
Ada yang mendapatkan sepatu, baju-baju, hiasan ruang tamu, secara cuma-cuma. Setiap tetangga datang ke obral, yang tampak ibu tuan rumah sajaÂ
Selentingan kabar tersiar, bahwa suami istri idaman ini telah resmi bercerai. Menurut cerita terdengar, suaminya mendua hati.Â
Istri yang mandiri tak terima, memilih berpisah dan menjual harta bersama selama pernikahan.
Saya yang kala itu masih awal menikah, mendapat banyak sekali pelajaran. Bahwa kepemilikan harta benda, sama sekali tidak menjamin awetnya pernikahan.Â
Karena yang membuat nyaman, adalah sikap yang ditunjukan pasangan. Ibu bapak saya, yang hidupnya tidak berkelebihan. Perkawinannya terbukti awet, hanya maut memisahkan.
Persis seperti isi tausiyah Ustad, yang saya cuplikan di atas. Nanti setelah menikah, kita tidak hidup dengan fisiknya saja, tidak dengan hartanya saja. Setelah menikah kita hidup, dengan peranginya, tabiatnya, kesehariannya.
Dan suami musti memegang kunci, yang membuat istri enggan berpaling. Yaitu jangan berlaku kasar, jangan mendua hati memberi tempat untuk wanita lain. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H