Wabil khusus pada ibu bapak kandung, saya mengenal karakter mereka jauh berbeda. Tetapi karena keduanya sepadan, lebih mudah memaafkan dan berkompromi.
Saya saksi hidup, perseteruan ayah dan ibu setelah itu esoknya rukun. Saya melihat sendiri, kesalnya ayah pada kekeras kepalaan ibu, tapi besoknya mesra lagi. Cekcok omongan bukan sekali dua kali, tapi selalu dan selalu berakhir dengan damai.
Kekompakan keduanya terbukti, saat mengalami masa-masa yang sulit. Kala itu kakak mbarep dan kakak kedua kuliah, saya berseragam merah hati putih. Gaji ayah sebagai guru sisa sedikit, karena dipotong aneka banyak cicilan.
Saya dapati keduanya ngobrol serius, di ruang tengah yang lengang. Saya masih kecil tak paham, tetapi dari nada bicara dan mimik keduanya. Cukuplah saya simpulkan, bahwa keadaan genting tengah dialami.
Entahlah, bagaimana caranya, keduanya mencari jalan keluar (kala itu). Nyatanya, keluarga sederhana itu tetap solid. Kami tumbuh dewasa sampai hari ini, sampai beranak pinak. Ayah ibu adalah role model, bersetia sampai mau memisahkan.
Jujurly, saya mengagumi ayah dan ibu. Â Keduanya bukan dari keluarga kaya raya, tapi usaha mereka mencukupi kebutuhan keluarga tak terbantahkan. Meski keduanya tidak pintar cendekia, tetapi sikap sahaja itu justru menguatkan.
Ayah yang lulusan SPG (sekolah pendidikan guru), menikahi ibu yang lulusan SD. Keduanya nyambung saat ngobrol, keduanya membuka ruang kompromi. Isi dua kepala tercurahkan, terakomodasi ide dan pandangannya.
Menikah Itu Isinya Ngobrol dan Kompromi
Kompasianer, saya merasakan manfaat ngobrol dengan pasangan.
Dari mengobrol, bisa terbangun hubungan batin suami istri. Dengan ngobrol, bisa mencairkan yang kaku sekaligus menghilangkan sekat-sekat.
Ngobrol soal apa saja, mulai yang remeh temeh, sampai masalah  serius. Suami istri menyampaikan pandapatnya, kemudian minta pertimbangan pada pasangan. Atau ngobrol tentang anak, sampai gobrol soal masalah pelik.