Saya sangat paham, bahwa pernikahan tak selalu mulus. Semasa kecil saya melihat, bagaimana struggle-nya ayah dan ibu. Kehidupan mereka banyak gejolak, pertengkaran terjadi layaknya rumah tangga umumnya.
Mereka berhemat mengelola keuangan, agar penghasilan mencukupi kebutuhan sebulan ke depan. Ayah dan ibu berjibaku, agar anak-anaknya tetap sekolah. Dan ada hikmah saya petik, sepelik masalah kalau dihadapi berdua akan terasa berbeda.
Kilasan pemikiran ini, yang meneguhkan semangat menikah. Di kemudian hari, saya mengalami sendiri. Jatuh bangun, perselisihan suami istri terjadi. Saya dituntut terus belajar, agar rumah tangga tetap berjalan dengan baik.
Ya, mengatasi masalah sendiri, berbeda dengan dihadapi berdua. Ketika pikiran ini buntu, ada istri memberikan masukan. Ketika saya sedang sempit rezeki, nyatanya pintu rezeki terbuka dari istri.
------
Dulu, ketika keinginan menikah menggebu, ada buku yang getol dibaca. Adalah buku berjudul 'Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya' ditulis oleh A. Mudjab Mahali. Ada point sangat masuk akal, baik dari sudut logika maupun religi.Â
Yaitu, bahwa setiap orang lahir membawa rezeki-nya masing-masing. Menikah ibarat mengumpulkan rejeki, yaitu rezeki suami dan rejeki istri. Pun setelah memiliki anak, mereka (anak-anak) juga membawa rezekinya sendiri.
Hal ini saya rasakan, rezeki mengalir setelah menikah. Mula-mula kami tinggal di rumah kontrakan, rezeki meningkat bertahap. Pekerjaan beruntun datang, diiringi bertambahnya pendapatan. Menabung sedikit demi sedikit, bisa pindah dan membeli rumah sendiri.
Ujian kenikmatan berganti, ada saat ujian kesempitan datang. Pernah saya berada, masa sepi pekerjaan sehingga sedikit pemasukan. Sampai saya kepikiran, di mana benarnya kalimat 'menikah membuka pintu rezeki'.
Tak dipungkiri, banyak rumah tangga selesai berawal dari masalah ekonomi. Suami istri tak lagi kompak, karena berada di masa paceklik. Padahal, sunatullah kehidupan demikian adanya. Masa senang dan masa sulit, adalah dua hal yang selalu dipergilirkan.