Ayah, kalian pernah nggak?Â
Sementara kalian dalam keadaan lapar, dan nasi kotak sudah ada di tangan. Tetapi naluri yang kuat itu, justru mendorongmu untuk tidak makan. Atau kalaupun makan, hanya sedikit saja --misal tempe saja, lainnya tidak-. Kemudian nasi kotak itu dibawa pulang, dipersembahkan pada anak tersayang.Â
Di hadapanmu, anak-anak makan dengan lahapnya. Dan si ibu menambah nasi, agar bisa ngariung turut makan bersama. Ayah, laparmu yang belum sirna, dibasuh kebahagiaan tak terkira. Bahagia melihat anak istri bahagia, bersantap makanan kau bawa. Ayah bahagia, karena saat itu engkau berhasil menaklukan ego.
Itu baru soal makanan, dan musti dibawa ke soal-soal yang lain. Soal menahan ego, berdebat dengan anak yang beranjak besar. Soal menekan ego, berani mengakui salah --kalau memang salah---pada anak. Dan soal-soal yang lain, sehingga engkau wahai ayah, terus tergapai naluri keayahan.
Para ayah, mari menjadi ayah yang 'mahal'. Yaitu ayah yang terus mengasah naluri keayahan. Dan biarlah ketakterdugaan akan terjadi di hari kemudian, ketika badanmu semakin ringkih dimakan usia. Adalah sembah bakti, adalah sayang dari anak istri. Karena niscaya kahidupan, akan berjalan sesuai Sunatullah.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H