Saya berusaha sekuat tenaga, menanggalkan ego. Saya menekan habis-habisan kehendak diri, sembari mencoba mengoreksi pola relasi (ayah dan anak). Seketika itu, saya ayah tak malu minta maaf pada anak.
Di depan ibunya, saya peluk anak dengan erat. Sembari meyakinkan, bahwa saya sangat menyayangi anak lanang yang sebentar lagi dewasa.
Naluri Keayahan yang Menjadikan Ayah 'Mahal'
Ada hal yang kerap saya rasakan---sangat mungkin dilrasakan banyak ayah--, ketika ada pekerjaan/ kegiatan dan disajikan makanan enak. Setiap menyuap makanan, teringat istri dan anak-anak di rumah. Meski mereka (di rumah) juga makan, meski mereka tidak tahu apa yang saya santap. Tetapi bayangan wajah mereka, secara reflek muncul begitu saja.
Maka kalau ada kegiatan, saya --sebagai peserta-- dibagikan nasi kotak dan atau kotak snack. Biasanya diambil seperlunya, dan yang tak tercomot dibawa pulang. Misalnya ada tiga snack di kotak, diambil satu dan yang dua tidak. Pun makan berat, lauk yang enak disisihkan dibawa pulang.
"Sayang anak, ya mas" celetuk satu teman.
Ya, beberapa teman di komunitas, mulai hapal kebiasaan saya dan sekaligus memaklumi. Tak jarang mereka berbaik hati, snack bagian mereka -- yang kurang diminati---dihibahkan ke saya.
"Naluri ayah banget kayak gini, ya mas,"Â sahut teman yang lain.
Saya tersadarkan dan mengamini, soal naluri ayah ini. Naluri yang tumbuh tiba-tiba, tergantung seberapa effort kita (sebagai ayah) mengasahnya. Semakin bersedia memroses diri, maka semakin naluri keayahan menjadi peka. Sebuah kondisi yang tak bisa dibeli dengan apapun, kecuali dengan laku dan pengelolaan ego.
Betapa di luar sana, ada ayah yang abai. Ayah tak peduli anak istri, yang diutamakan kenyamanan dan enaknya sendiri. Ayah yang tak menempuh jalan keayahan, karena mungkin kurang pengetahuan. Tetapi percayalah, bahwa hukum kehidupan pasti akan berlaku.
------