"Seorang ibu sanggup mengasuh sepuluh anak, tetapi sepuluh anak belum tentu sanggup mengasuh seorang ibu"Â
Belakangan yang sedang ramai diberitakan, adalah kejadian seorang ibu yang "dibuang" oleh tiga anaknya di panti lansia.
Kabar tersebar sebegitu cepatnya, setelah surat pernyataan keluarga viral diunggah di medsos oleh pihak yayasan.
Sontak menjadi perhatian khalayak ramai, terjadi pro dan kontra di tengah perbincangan netizen.
Laman medsos begitu riuh, ada yang menyalahan anaknya, ada yang tak mau gegabah berpendapat, ada yang menyayangkan sikap panti dan seterusnya.
---
Melalui komunitas Ketapels, saya pernah mengadakan kegiatan mengunjungi panti lansia di daerah Tigaraksa Tangerang.
Melalui pengurus panti saya mendapat banyak kisah, penyebab lansia sampai menginjakkan kaki di panti.
Ada yang dititipkan keluarganya, sehingga (oleh keluarga) dibayarkan iuran bulanan.
Ada yang direkomendasikan dinas sosial, kebanyakan asal usul lansia masih gelap (lansia pikun) . Dinsos menitip sejumlah dana besarannya tidak seberapa.
Ada lansia datang saat hari mulai petang, diantar anak muda menggunakan motor.
Anak muda mengaku menemukan di pinggir jalan, pamit sebentar untuk membeli suatu barang.
Pengantar rupanya tak kunjung kembali, lansia mengaku bahwa si pengatar adalah anak kandungnya.
Sekian bulan berlalu, anak muda datang mengakui kesalahan. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, lansia sudah berpulang ke alam baqa.
Kalau saya ceritakan ulang satu persatu, tentu sangat menyesakkan dada.
Banyak kisah pilu dibalik wajah renta, membuat mereka berada di panti.Â
Saya masih ingat kalimat pengurus panti. "Logikanya, kalau keadaan (di rumah) baik-baik saja, mereka tidak bakalan ada di sini pak".
Berbakti pada Orangtua itu (Seharusnya) Tidak Bersyarat
Kompasianer bisa googling nama Aditya Prayoga, adalah inisiator, founder dan pemilik rumah makan gratis.
Lelaki sederhana asal Palembang, yang  (menurut saya) sebegitu indahnya melukis semesta.
Dalam keadaan ekonomi memprihatinkan, sepenuh hati merawat orangtua sedang sakit di kontrakannya.
Sementara barang dagangan (murotal Quran), kadang ramai dan tak jarang sepi pembeli.
Selepas subuh gerimis, sepulang dari masjid bertemu nenek pemulung yang jalannya pincang.
Nenek dengan kaki luka berlubang (ada belatung), terseok menembus rintik ditawari mampir.
Di usia 80 tahunan, nenek sebatangkara harus memulung demi sesuap nasi.
Adit dan istri akhirnya berjanji, akan menanggung makan sehari-hari si nenek.
Dari seorang lansia yang diberi makan saban hari, akhirnya suami istri membagikan makan untuk pemulung di sekitar kontrakan.
Siapa nyana menjadi cikal bakal rumah makan gratis, kini berkembang menjadi lima cabang di Jabodetabek.
Soal bakti saya tidak meragukan, Aditya merawat orangtua meski dalam keterbatasan.
Dalam sebuah wawancara saya simak, tampak ketulusan dari kalimat dan bahasa tubuh.
Ayah satu anak mengaku masih berjualan murotal. Dan aneka keajaiban dialami, membuat perekonomian keluarga membaik.Â
Sementara rumah makan gratis, telah diduplikasi dan dijalankan di beberapa kota di Indonesia.
------
Saya  memercayai konsep, bahwa manusia diibaratkan bertransaksi dengan kehidupan.
Apa yang didapat niscaya sepadan dengan diperbuat, sunatullah tentang sebab akibat sungguh nyata adanya.
Dalam transaksi (dengan kehidupan) tidak seorangpun dirugikan, benar-benar mendapat apa yang menjadi haknya.
Takaran perolehan tak kasat mata, tetapi Sang Khalik berperan dalam kemaha adilannya.
Anak yang menyayangi orangtua (dan sebaliknya), tak ubahnya menjalankan transaksi kehidupan.
Berbakti pada orangtua idealnya tak bersyarat, persis seperti orangtua menyayangi anak-anak.
Kalau mau berkaca dari Adtya, kita bisa petik hikmah dan atau pelajaran.
Kalau dalam kondisi terbatas saja mau menunjukan bakti, apalagi saat dalam kondisi lapang.
Karena kesungguhan bakti, justru teruji ketika alam keadaan sempit.
Dalam keadaan terjepit kualitas bakti akan moncer, ngantarkan keajaiban tak disangka-sangka.
So, mari kita muliakan orangtua dari sekarang, sebisanya semampunya apapun kondisinya (baik sempit atau lapang).
Mumpung nafas dikandung badan, mumpung orangtua bisa dipeluk dan ditemui.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H