Kompasianer, ada yang masih ingat sitkom "Tetangga Mas Gitu? "
Serial drama komedi yang tayang di sebuah teve swasta, menampilkan nama-nama bintang tersohor.
Ada scene cukup unik, menggambarkan pola relation suami istri.
Diceritakan Angel yang bekerja di kantor lawyer, memiliki penghasilan tinggi. Sementara sang suami seniman dan guru lukis, memiliki keadaan sebaliknya.  Ada saatnya Adi jobless, sehingga semua kebutuhan rumah tangga ditanggung sang istri.
Sebagai pemain profesional, akting Sophia Latjuba dan Adi Sasono terbukti jago. Saya bisa melihat, dari bahasa tubuh dan mimik tak berdaya si suami sungguh meyakinkan.
Adi begitu tergantung dengan Angel, dalam keadaan ini  harga diri sebagai lelaki sekaligus kepala keluarga menjadi pertaruhan.
Sitkom ini related dengan keseharian di tengah masyarakat.
Banyak pelajaran bisa dipetik penonton, terutama yang sudah berkeluarga.
---
Di kehidupan nyata, saya mengenal pasangan suami istri, dengan peran dan fungsi terbalik dalam berumah tangga.
Kondisinya keluarga ini (sebenarnya) tidak sama persis dengan sitkom di awal tulisan ini, namun pertukaran peran dan fungsi suami istri terjadi.
Suami yang dipecat dari tempat bekerja, etos kerja seketika merosot, sehingga terkesan enggan untuk bangkit.
Sementara si istri terus memotivasi, mendorong suami agar mencari dan melamar ke tempat pekerjaan baru.
Saya pernah mencoba membantu, menawarkan network di sebuah kantor. Tetapi ditolak mentah-mentah dengan berbagai alasan, dan berhasil membuat saya kapok.
Kejadian serupa terjadi berulang-ulang, tidak saya saja dibuat kecewa, beberapa teman disuguhi sikap semisal.
Saking judeg dan sering perang mulut, sang istri akhirnya membiarkan lelakinya.
Dia merelakan dirinya pontang panting mengais rejeki, berjualan ini dan itu, membuka jasa ini dan itu.
Kondisi demikian berjalan bertahun-tahun, perlahan tapi pasti usaha istri membuahkan hasil.
Meski jatuh dan bangun dialami, setidaknya anak-anak bisa sekolah bahkan kuliah.
Buah hati tumbuh dengan figur ibu yang tangguh, Â saat SMA rela sekolah nyambi bekerja.
Sementara keberadaan si ayah seperti tak ada guna, makan minum menjadi tanggungan istri.
Saya tidak bertanya lebih jauh, alasan yang membuat si ibu mempertahankan lelaki yang menelantarkan.
Justru yang saya tangkap adalah sikap tegar, kesabaran, serta ketangguhannya sebagai perempuan.
Dan si suami, makin lama seperti padam jiwa kepemimpinan.
Sementara raganya sehat wal afiat, perawakannya utuh tak kurang suatu apa. Tetapi di mata saya, dia telah melepaskan qowammah (jiwa kepemimpinan) yang seharusnya disandang.
Elokkah Suami Istri Bertukar Peran ?
Di era serba digital, kita dimudahkan menikmati konten sesuka hati di aneka platform. Termasuk konten kajian, saya bisa bisa menyimak kapanpun dimau bahkan mengulang-ulang.
Kajian Ustad Budi Ashari. lc, termasuk daftar konten yang saya gemari. Mengingat cara menjelaskan detil dan memakai dasar kuat, mengacu pada kitab dan sunah.
Menurut sang Ustad menyoal kedudukan suami istri, sejatinya sudah sangat jelas di dalam kitab. Bahwa fitrah suami adalah Qowwam (pemimpin atau imam), atas istri dan anak-anak.
Suami yang bekerja keras, banting tulang, peras keringat, demi orang di bawah tanggung jawabnya, Â adalah lelaki yang sedang menjalankan fitrah.
Kalaupun di perjalanan menafkahi keluarga, suami menemui kerikil atau ujian atau naik turun itu sangat wajar dan biasa terjadi.
Misalnya di masa pandemi, suami dirumahkan dari tempatnya bekerja. Atau suami yang berjualan, dagangan sepi pembeli, atau masih banyak contoh lainnya.
Dalam kesempitan tersebut, sebenarnya pintu kesempatan sedang dibukakan. Suami bisa membuktikan, bahwa dirinya lelaki yang bertanggung jawab.
Caranya dengan tak gampang patah harapan, tak henti berusaha semampu dan sekuasanya. Setelah segenap usaha itu dikerahkan, biarkan semesta bertugas mempersembahkan keajaiban.
Bagi suami dengan istri berpenghasilan tinggi, Â bukan alasan untuk berleha-leha. Jangan memanfaatkan kondisi tersebut, untuk bermalas-malasan.
Karena fitrah kepemimpinan tetap ada di pundak suami, kalau (fitrah itu) ditanggalkan resikonya adalah harga diri.
Jadi dengan tetap berusaha, lelaki sedang menunjukkan dirinya memiliki harga diri.
---
Rasulullah sepulang dari perang tabuk, melihat lelaki  sedang kelelahan di sudut kota Madinah. Lelaki dengan kulit merah kehitaman , terpanggang matahari sementara dua tangannya tampak melepuh.
Rasulullah bertanya "Kenapa tanganmu kasar sekali?"
"Wahai Rasulullah, pekerjaanku membelah batu setiap hari. Kemudian saya jual ke pasar, hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya di rumah".
Rasul mengenggam tangan itu dan menciumnya, seraya bersabda,
"Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka selama-lamanya"
Wallahu A'lam
Sungguh mencerahkan, ketika mencoba mengambil pelajaran dari lelaki tukang batu di jaman Nabi. Saya menyimpulkan, Â bahwa harga diri lelaki tak selalu berbanding lurus dengan perolehan (baca uang) didapatkan dari bekerja.
Tugas sebagai lelaki adalah bekerja semampunya, proses ini bisa menjadi jalan untuk mengejawantahkan fitrahnya.
Sementara besaran atau nominal tak lebih sebagai akibat, dan akan mengikuti seberapa keras dan cerdas kita berupaya.
Jadi para suami dan para ayah, mari focus menjalankan syariat (bekerja) sebagai upaya mempertahankan fitrah.
Karena lelaki sejati adalah lelaki dengan harga diri, dihadapan istri dan anak-anaknya.
Elokkah suami istri bertukar peran?
Dalam kondisi suami tidak uzur (misal sakit parah, lumpuh, benar-benar tak berdaya), menurut saya sebaiknya jangan.
Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI